NewsNow.id, Jakarta – Vonis hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, dan Richard Eliezer, berpotensi berubah pada pengadilan tingkat kasasi. Pasalnya, masih ada celah hukum yang menjadi dasar untuk menggugurkan vonis hakim di pengadilan tingkat pertama.
“Vonis hukuman terhadap seseorang harus dilatarbelakangi motif perkara yang jelas. Dan itu harus diungkap secara terinci di persidangan. Karena dalam sebuah vonis, nasib seseorang dan nilai-nilai keadilan dipertaruhkan,” kata Prof Gayus Lumbuun pakar hukum pidana sekaligus Hakim Agung 2011-2018, dalam keterangan resminya, di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Dalam perkara kasus pembunuhan Brigadir Yosua dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, dan Richard Eliezer, tidak terungkap jelas apa sebenarnya yang menjadi motif dari pembunuhan berencana tersebut. Seperti diketahui, majelis hakim memvonis Sambo dengan hukuman mati, Putri 20 tahun penjara, Kuat 15 tahun penjara, Ricky 13 tahun penjara dan Eliezer 1,5 tahun penjara.
Dalam pembacaan putusannya, hakim mengatakan, motif bukanlah merupakan bagian dari delik karenanya bisa dikesampingkan.
Prof Gayus menjelaskan, doktrin niat dan motif dalam tindak pidana merupakan dua elemen yang penting untuk membuat seseorang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang diperbuatnya. Ini juga merupakan sebuah doktrin.
Menurutnya, doktrin merupakan sumber hukum yang sifatnya formil. Oleh karena itu, hal yang menyangkut kepada motif dan niat tentu perlu dipertimbangkan dengan penuh.
“Kalau secara doktrinal, sebuah motif dikesampingkan bisa-bisa saja. Namun, dalam tataran praktis, demi keadilan dan menyangkut nasib orang, maka motif itu harus diungkapkan,” kata Prof Gayus.
Sebab kalau motifnya tidak diungkap, dikhawatirkan ada kekosongan dalam penanganan suatu perkara yang kurang lengkap pertimbangan hukumnya. Disinilah nanti menjadi celah dimungkinkannya putusan hakim di pengadilan tingkat pertama dan kedua direvisi.
“Jaksa harus bisa mendalami apa motif Sambo merencanakan pembunuhan Brigadir Yosua. Kalau hakim merasa paparan kasusnya tidak memiliki motif jelas, kan bisa dikembalikan ke jaksa penuntut umum (JPU) dan meminta untuk lebih digali apa yang menjadi motif sebenarnya,” ujarnya.
Prof Gayus menjelaskan, bahkan kalau perlu digali lagi ada di bawahnya motif yakni, dasar motif. “Kalau perlu, hakim bisa meminta dilakukan persidangan tertutup untuk bisa mengungkap motif dibalik pembunuhan berencana tersebut,” tukas Gayus.
Beberapa waktu lalu Kamaruddin Simanjuntak kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua pernah sedikit mengungkapkan, bahwa ini ada kaitannya dengan 303 (perjudian). “Ini kan juga bisa menjadi motif terjadinya pembunuhan berencana itu. JPU harus bisa menggali hal tersebut, apakah benar demikian atau ada motif lainnya,” seru Prof Gayus.
Dicontohkan pula, dalam persidangan, hakim menyebut bahwa Putri sakit hati dengan Brigadir Yosua, tanpa menjelaskan apa penyebab sakit hatinya. Padahal, mungkin dari situ bisa terungkap sesuatu yang mengarah pada pembunuhan tersebut. “Kalau hakim tidak menguraikan motif demi keadilan, maka di tingkat upaya hukum lanjutan, kemungkinan terjadi onvoldoende gemotiveerd yang menurut pakar hukum M Yahya Harahap adalah putusan tidak seksama mempertimbangkan semua hal (fakta-fakta dalam persidangan) yang relevan dengan perkata yang bersangkutan. Atau bisa juga suatu keadaan yang tidak secara luas dibahas atau tidak lengkap dan menjadi membingungkan. Ini bisa berakibat merubah hukuman terhadap terdakwa atau membatalkan hukum sebelumnya,” tukasnya.
Lebih jauh Prof Gayus mengatakan, onvoldoende gemotiveerd menjadi pintu masuk untuk mengoreksi putusan judex factie lantaran pertimbangan hukum di tingkat itu tidak cukup dipertimbangkan secara lengkap, tidak saja pada niat dan motif, tapi ada pada pertimbangan kebenaran hukum. “Hukum adalah kebenaran. Dalam kasus Sambo misalnya, ada perintah ‘hajar’ yang diasumsikan dengan tembak. Itu pun ada jenisnya, ada tembak peringatan, melumpuhkan atau mematikan. Dalam hal ini harus dicari kebenaran yuridisnya, tidak bisa secara letterlijk, tapi dicari kebenaran yang lebih luas,” bebernya.
Begitu juga patut dipertanyakan, apakah perintah diberikan oleh orang yang berwenang untuk menembak sesama polisi? “Apabila bukan orang yang berwenang, maka akan terjadi error in persona dan error in objecto,” serunya.
Dipaparkan, error in persona berarti pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat. Sementara error in objecto artinya, kesalahan gugatan/dakwaan karena adanya kekeliruan terhadap objek yang digugat/didakwakan.
Bila terjadi demikian, maka akan menjadi misbruik van recht yakni, penyalahgunaan hak yang dianggap terjadi apabila seseorang menggunakan haknya bertentangan dengan tujuan diberikan hak itu atau bertentangan dengan tujuan masyarakat.
Prof Gayus menjelaskan, perubahan hukuman di tingkat kasasi dimungkinkan karena hakim-hakim di tingkat Mahkamah Agung (MA) hanya memeriksa soal penerapan hukumnya saja (judex juris). Kalau di pengadilan negeri dan tinggi disebut judex factie, di mana hakim akan memeriksa sesuai bukti dan saksi.
Karena itu, Gayus berpandangan, mungkin sekarang banyak orang senang dengan vonis yang diajukan oleh majelis hakim, termasuk pihak keluarga Brigadir Yosua. “Saya hanya mengingatkan, berangkat dari pengalaman saya sebagai Hakim Agung, bahwa itu bisa berubah karena ada celah hukum yang memungkinkan, apa itu? Ya karena tidak diungkap secara jelas apa motifnya. Mungkin kalau motifnya diungkap kenapa dilakukan pembunuhan berencana, maka ceritanya akan berbeda,” tukasnya. (RN)