NewsNow.id, Jakarta – Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan Hak Asasi Manusia Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM), Nicholay Aprilindo, menilai bahwa persyaratan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi eks narapidana dapat menjadi bentuk diskriminasi.
“Mereka ingin hidup normal, bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, menghidupi diri dan keluarga mereka secara halal tanpa ada diskriminasi HAM berupa kewajiban SKCK,” ujar Nicholay, Senin (24/3/2025), dikutip Tempo.co.
Menurut Nicholay, khususnya bagi narapidana muda, kesempatan untuk memperbaiki diri selepas menjalani hukuman seringkali terkendala oleh syarat administratif seperti SKCK dan stigma sebagai mantan pelaku kriminal.
Pandangan ini ia sampaikan setelah mengunjungi 12 lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di beberapa wilayah, termasuk Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, dan DKI Jakarta.
Dari hasil kunjungannya yang berlangsung sejak akhir Januari hingga awal Maret 2025, Nicholay menyoroti bahwa kondisi lapas di Indonesia masih jauh dari standar hak asasi manusia. Ia melaporkan bahwa banyak lapas dan rutan mengalami kelebihan kapasitas atau overcrowding, yang berdampak pada kualitas hidup para tahanan.
Selain itu, ia juga menemukan adanya tahanan lanjut usia berusia antara 60 hingga 96 tahun, dengan jumlah yang bervariasi antara 10 hingga 70 orang di setiap lapas. Tak hanya itu, beberapa warga binaan juga diketahui menderita penyakit serius seperti diabetes dan tuberkulosis (TBC), serta kondisi kesehatan lainnya yang membutuhkan perhatian khusus.
Nicholay turut menyoroti situasi perempuan yang menjalani hukuman dalam kondisi hamil dan harus melahirkan di dalam lapas atau rutan. “Anaknya ikut dirawat, dibesarkan di dalam lapas atau rutan sampai berumur 1-3 tahun,” jelasnya.
Dalam interaksi dengan para penghuni lapas, Nicholay mendapati berbagai keluhan mengenai proses hukum yang mereka jalani. Beberapa narapidana mengaku tidak melakukan kejahatan yang dituduhkan, sementara yang lain mengaku bersalah karena tidak memahami proses hukum dan hanya mengikuti arahan penyidik, jaksa, atau hakim tanpa pendampingan pengacara.
Ada pula narapidana yang tidak didampingi kuasa hukum karena keterbatasan finansial atau kurangnya informasi mengenai hak mereka atas bantuan hukum dari negara. Beberapa lainnya bahkan menolak menggunakan jasa pengacara karena khawatir hukuman mereka justru diperberat.
Lebih lanjut, Nicholay menjelaskan bahwa sebagian besar tindakan kriminal yang dilakukan oleh para narapidana berakar pada faktor ekonomi, lingkungan, dan pergaulan. “Mereka berharap setelah mereka menjalani hukumannya dan berkelakuan baik serta bertaubat tidak mau mengulangi perbuatannya,” pungkasnya. (*)