NewsNow.id – Pelayanan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) bagi sebagian warga di Batam, Kepulauan Riau, tampaknya masih buruk.
Kondisi seperti itu tatkala menengok apa yang dialami sebagian warga Batam hingga kekinian. Misalnya yang mendera warga Kelurahan Patam Lestari.
Setiap hari, sejak 2019, warga di RW 001, Kecamatan Sekupang ini harus begadang karena aliran air minum perpipaan baru mengalir pukul 01.00 WIB dinihari. Pada jam 05.00 WIB, air sudah mati seharian. Begitu sehari-harinya.
Apa yang dialami warga Patam Lestari, hanya contoh kecil saja. Diperkirakan puluhan ribu warga pelanggan di lokasi yang berbeda kesulitan mengakses air minum perpipaan ini. Kondisi yang sudah berkepanjangan.
Para warga sudah mengadu ke DPRD Kota Batam. Pun melakukan demo ke kantor BP Batam dan SPAM Batam.
Namun apa yang mereka tuntut dari SPAM Batam tak kunjung berubah dari perusahaan pelayanan SPAM Batam yang ditangani oleh BP Batam bersama mitra operasionalnya yakni konsorsium PT Moya Indonesia dan PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk.
Padahal negara lewat perundang-undangan menjamin hak asasi kebutuhan vital manusia ini.
Bentuk dari jaminan negara itu bahwa semenit pun aliaran air minum ini tak boleh tersendat. Kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran air minum perpipaan ini harus berjalan lancar sebagaimana perintah undang undang.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air disebutkan, “Negara menjamin hak rakyat atas Air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau”.
Sementara itu, dalam Pasal 4 ayat (5) PP No 125 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum jelas dinyatakan, “Kontinuitas pengaliran Air Minum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan jaminan pengaliran selama 24 (dua puluh empat) jam per hari”.
Sebelumnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan, “SPAM jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk menjamin kepastian kuantitas dan kualitas Air Minum yang dihasilkan serta kontinuitas pengaliran Air Minum”.
Berkaca pada regulasi tersebut dikorelasikan dengan kondisi pendistribusian air minum bagi sebagian warga di Batam, lantas dimana peran negara (Pemerintah Daerah) dalam penyediaan air minum bagi warga di sana?
Bukankah negara telah abai terhadap hak-hak warga atas ketersediaan air minum yang harusnya berlangsung selama 24 jam dalam sehari?
Anehnya, ketika warga mengeluh soal pendistribusian air minum yang sudah menahun ini, Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi malah membawa “penderitaan” warga ini dalam candaan. “Bagus juga hidup, ye. Kalau mati 24 jam bagaimana,” kata Rudi seolah tanpa dosa, pada Selasa (10/1) lalu.
Pemenuhan air minum bagi warga di sini adalah tanggung jawab BP Batam. Itu secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Negara harus hadir dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk air minum. Kalau di daerah, ya itu tanggung jawab pemimpin di daerah,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani ketika ditanya BatamNow.com, di Jakarta, Jumat (13/1/2023).
Menurutnya, kalau seorang pemimpin daerah tidak mampu bertanggung jawab terhadap hal-hal mendasar tersebut, ya untuk apa dipilih. “Artinya, dia tidak memiliki kemampuan dan kecakapan untuk menjadi seorang pemimpin,” ujarnya.
Baginya, seorang pemimpin daerah harus memiliki terobosan, bukan pemborosan. Harus mampu mencari solusi terhadap setiap persoalan warganya. “Kalau pemimpin daerah justru membiarkan warganya sengsara gara-gara sulit mendapatkan air minum, ya bagus mundur saja,” tukasnya.
Tak hanya itu, pihak swasta selaku pengelola SPAM di Batam, salah satunya perusahaan entitas Salim Group harus bertanggung jawab. “Sekarang, air itu sudah menjadi komoditi dan bernilai bisnis. Harus dicek dan dimintai pertanggungjawaban juga,” serunya.
Sementara itu, mantan Hakim Agung Prof Gayus Lumbuun mengatakan bahwa amanat UU jelas bahwa negara memiliki tanggung jawab mengelola air yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. “Kalau negara dan atau pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar akan air minum, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Pemimpin yang demikian sama saja sudah melanggar UU, karena itu tanggung jawab dia,” tegas Gayus kepada BatamNow.com, hari ini, Jumat.
Menurutnya kalau memang alasannya sumber air kering, ya harus dicarikan sumber air yang baru. Atau mungkin pipanya bermasalah, ya harus segera diperbaiki. “Intinya, pemimpin harus gerak cepat demi memenuhi kebutuhan dasar warganya. Jangan hanya omong doang mau memperbaiki, tapi kenyataan tidak jalan. Bahaya pemimpin yang cuma bisa lips service saja,” tukasnya.
BP Batam Langgar HAM?
Dalam Sidang Umum PBB tahun 2010, telah dikeluarkan resolusi yang secara eksplisit mengakui hak atas air dan sanitasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain resolusi No 64/292, Komentar Umum (General Comment) PBB No 15 menegaskan bahwa memberikan hak setiap orang atas air minum yang memadai, aman, bisa diterima, bisa diakses secara fisik dan mudah didapatkan untuk penggunaan personal dan domestik.
Apakah ketidakmampuan BP Batam yang dipimpin oleh Muhammad Rudi dalam mengatasi persoalan pendistribusian air bersih bagi sebagian warga Batam dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM?
Bicara soal HAM, pakar hukum Universitas Padjajaran Maidah Purwanti yang juga Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan, “Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam kerangka pendekatan berbasis HAM bisa dilihat dalam tiga bentuk yakni, Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi”.
Dia mengatakan, “Dalam tiga kewajiban negara itu masing-masing mengandung unsur kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) yaitu, negara disyaratkan melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak, dan kewajiban untuk berdampak (obligation to result) yaitu, mengharuskan negara untuk mencapai sasaran tertentu memenuhi standar substantif yang terukur”.
Maidah menjelaskan, ada dua jenis pelanggaran berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab negara dalam implementasi HAM yaitu, pelanggaran karena tindakan (by commission), terjadi karena negara justru malah melakukan tindakan langsung untuk turut campur dalam mengatur hak-hak warga negara yang semestinya dihormati. Dan, pelanggaran karena pembiaran (by omission), terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum.
Dalam kasus SPAM di Batam, nampaknya bisa dikategorikan pelanggaran HAM karena terjadi pembiaran. Sebab, macetnya penyaluran air minum sudah terjadi sejak 2017 silam, sementara baik BP Batam maupun mitra SPAM hingga kini tidak memberikan solusi konkret.
Selama ini, banyak warga menyebut bahwa Rudi hanya “membual” janji-janji surga saja. Rudi malah menyalahkan pipa saluran air yang ukurannya terlalu kecil dan juga sudah tua dan tidak lagi memadai mengaliri air ke rumah-rumah warga yang jumlah sudah bertambah dibanding 15 tahun lalu.
“Itu untuk 15 tahun yang lalu. Kalau dulu untuk 100 orang pipa ini, sekarang untuk 1.000 orang mengalir tak benda itu?” kata Rudi.
Rudi juga meyebut untuk memperbaiki pipa air minum butuh dana Rp 5 triliun.
Namun apa yang diketengahkan oleh Rudi soal kondisi pipa air minum yang menjadi masalah di Batam pernah dibantah Presiden Direktur PT Adhya Tirta Batam (ATB) Benny Andreanto Antonius.
Masalah air minum di Batam menjadi momok yang mengerikan dalam keseharian sebagian warga kawasan industri ini.
Ketika warga harus rela tak tidur hanya untuk menunggu air mengalir tengah malam, Muhammad Rudi bisa saja tidur nyenyak berpiyama rapi di ruang ber-AC, sambil bermimpi indah bila nanti dirinya menjadi Gubernur Kepulauan Riau. (*)