NewsNow.id – Berbagai persoalan yang muncul terkait pelayanan kepada masyarakat di Batam, Kepulauan Riau, salah satunya dipicu oleh dualisme kepemimpinan Muhammad Rudi di daerah tersebut. Selain sebagai Wali Kota Batam, dirinya juga merangkap (ex-officio) Kepala BP Batam.
“Kesengsaraan sebagian warga di Batam terkait pendistribusian air minum yang hanya terjadi tengah malam selama beberapa jam, menjadi salah satu contohnya. Itu bentuk lemahnya kepemimpinan Rudi sebagai Wali Kota Batam. Kan itu tugas Wali Kota sebagai pemimpin daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya,” kata Ketua Umum Forum Komunikasi Rakyat Indonesia (Forkorindo), Tohom TPS, kepada BatamNow.com, di Jakarta, Jumat (13/1/2023).
Tohom menilai, Rudi tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai Wali Kota Batam yang harus memberi pelayanan kepada masyarakat secara benar. “Dia lebih cenderung mikirin proyek-proyek di BP Batam, daripada ngurusin rakyat di Batam,” ujarnya.
Dia mencontohkan, proyek lahan di Bandara Hang Nadim Batam yang mau dijual tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 47 Tahun 2022 tentang Rencana Induk Bandar Udara Hang Nadim di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Kabarnya, petinggi BP Batam diduga mendapat gratifikasi sebesar US$ 6 per meter². Dengan luas lahan 1.650.000 m² (165 hektare), maka mereka akan mendapat Rp 153,7 miliar (kurs US$ 1 = Rp 15.533).
“Sepanjang kepemimpinannya, tidak ada prestasi yang menonjol. Bahkan warga di sana banyak teriak. Bagaimana mau jadi Gubernur Kepri, jadi Walkot Batam saja tidak becus,” tegas Tohom menyoroti keinginan Rudi maju sebagai Cagub Kepri pada Pilkada Serentak 2024 nanti.
Baginya, sulit seorang pemimpin publik fokus pada pekerjaannya kalau ada dua jabatan yang dipegang. “Pasti dia akan melihat, mana jabatan yang lebih menguntungkan dan menghasilkan cuan lebih besar. Apalagi Pilkada sudah di depan mata, pasti dia lagi cari cuan terus,” serunya.
Tohom meminta Presiden Joko Widod (Jokowi) meninjau ulang dua jabatan yang diemban Rudi. “Presiden harus meninjau ulang dan memutuskan satu jabatan yang dipegang oleh Rudi. Karena faktanya dengan dua jabatan tersebut, kerjanya tidak beres dan banyak warga di sana menderita,” tukasnya.
Dikhawatirkan kalau rangkap jabatan dibiarkan terus menerus, warga semakin menderita, sementara pemimpinnya hanya sibuk menumpuk harta. “Seorang pemimpin daerah harus fokus memikirkan rakyatnya, bukan ngurusin proyek-proyek di tempat lain,” imbuhnya.
Dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 76 ayat (1) huruf h jelas dikatakan, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bila sudah ada peraturan tersebut, bagaimana mungkin Pemerintah Pusat membiarkan Rudi rangkap jabatan di Batam? Atau mungkinkan Rudi jadi ‘boneka’ oknum di pusat untuk mengeruk keuntungan di Batam?
Peran Rudi di BP Batam pun tidak signifikan. Buktinya, proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Batam yang sudah diteken sejak 2014 silam dan dananya berasal dari pinjaman Exim Bank of Korea, hingga kini masih amburadul. Demikian juga proyek pengerukan kolam di Dermaga Terstle, yang tidak jadi-jadi. Padahal kabarnya, BP Batam sudah memperoleh anggaran Rp 207 miliar. Malah, BP Batam kembali mengajukan anggaran Rp 88 miliar di Tahun Anggaran 2023 ini ke Komisi VI DPR RI.
“Seorang pejabat publik harus fokus melayani rakyat. Untuk itu, harus dihindari pemimpin daerah rangkap jabatan. Copot salah satu jabatan Rudi di Batam,” pinta Tohom. (*)