NewsNow.id, Jakarta – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, saat ini tengah masuk tahap finalisasi.
Di dalamnya dengan tegas mengatur bahwa air minum merupakan hak asasi manusia (HAM). Karena itu, akses masyarakat untuk mendapatkan air minum harus disediakan seluas-luasnya. Yang bertanggung jawab menyediakan akses air minum adalah pemerintah pusat dan daerah.
“Itu menjadi amanat dari UUD 1945, di mana Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, ‘Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat’. Itu diperkuat dengan Pasal 28A yang isinya, ‘Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’. Jadi jelas, air minum pun menjadi hak dari setiap orang tanpa terkecuali,” ungkap Direktur Air Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR Ir Anang Muchlis Sp.PSDA, di ruang kerjanya, di Jakarta, dilansir dari BatamNow.com, Rabu (12/7/2023).
Diakuinya, PP SPAM ini agak telat keluarnya karena memang pembahasannya cukup panjang dan lintas kementerian. “Kami harus sampaikan ke Kemenkumham dan Kemendagri, supaya bisa ditelaah. Baru dirampungkan. Ditargetkan tahun ini juga PP SPAM akan diteken oleh Presiden RI,” imbuhnya.
Anang menjelaskan, tidak bisa ditawar lagi, negara harus hadir dalam penyediaan air minum kepada warganya. Negara di sini, tentu Pemerintah Pusat dan daerah, baik yang dilakukan oleh BUMN maupun BUMD. Di luar jangkauan BUMN atau BUMD, penyediaan air minum bisa dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), masyarakat, dan Badan Usaha Kepentingan Sendiri (BUKS).
“Ini dimungkinkan mengingat kemampuan pemerintah juga terbatas sehingga membutuhkan pihak-pihak lain untuk berkolaborasi. Meski begitu, pihak-pihak lain yang berkolaborasi tersebut tetap harus dikendalikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, semisal soal penentuan tarif dan lainnya,” urai Anang.
Dikatakannya, sebaiknya pengelolaan air di daerah ditangani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sehingga benar-benar bisa terkontrol, daripada diserahkan kepada swasta. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Meski bisa juga dikerjasamakan dengan sistem Kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Pemkot Batam Jadi Pengawas
Terkait pengelolaan air minum di Batam, Kepulauan Riau, Anang menduga masuk pada BUKS, yang dimungkinkan secara aturan. Meski begitu, tetap harus seizin Pemerintah Kota Batam. Jadi, pengawasannya ada di Pemkot Batam. “Tetap harusnya yang bertanggung jawab ya Pemkot Batam selaku pemerintah di wilayah tersebut,” serunya.
Dia menyarankan agar membentuk PDAM. Kata Anang, tidak masalah kalau sekarang ditangani oleh swasta, tapi begitu habis kontraknya, diambil alih oleh PDAM atau BUMD.
Tapi nampaknya sulit bagi warga Batam mengadukan persoalan air minum yang kerap mati dan tersendat ke Pemkot Batam. Bisa dipastikan bila ada aduan masyarakat yang masuk langsung dipetieskan. Pasalnya, Wali Kota Batam Muhammad Rudi juga merangkap Kepala BP Batam ex-officio. Diduga ini juga yang menyulitkan warga Batam dan tak tahu mau mengadu ke mana lagi.
Ditanya soal sanksi dalam RPP SPAM, Anang mengatakan, memang tidak ada sanksi khusus dalam RPP SPAM tersebut. Namun, bila penyelenggaraan air minum tidak sesuai dengan PP ini, biasanya langsung dipanggil oleh aparat penegak hukum (APH), seperti kepolisian dan kejaksaan, yang dalam hal ini juga berperan sebagai pengontrol. “APH juga punya peran besar memantau dan memastikan masyarakat menerima air minum dengan baik dan lancar atau tidak. Kalau tidak, ya harus dipanggil operatornya untuk diperiksa,” tandasnya.
Dia menegaskan, bila Pemkab/Pemkot lalai dalam menyediakan air minum di suatu daerah, maka bisa diadukan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bisa saja diberi sanksi karena dianggap mengabaikan hak-hak dasar manusia yang menjadi tanggung jawab pemerintah. (RN)