NewsNow.id, Jakarta – Entah apa yang mendorong segelintir elit menggadang-gadang Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pilpres 2024 nanti. Setelah sebelumnya juga muncul wacana amandemen UUD 1945, di mana merubah masa jabatan Presiden bisa diemban untuk tiga periode.
Namun, upaya menggolkan hal tersebut sudah kandas. Dalam amar putusannya, para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, seseorang yang telah menjabat sebagai presiden selama dua periode, tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai cawapres.
Permohonan tersebut diajukan oleh Ketua Umum Partai Berkarya Muchdi Purwopranjono serta Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Fauzan Rachmansyah. Itu merupakan permohonan kedua yang diajukan pemohon. Sementara pokok perkara yang dilayangkan oleh pemohon adalah pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum apakah bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon menilai, ketentuan dua pasal dalam UU Pemilu tersebut bisa dikatakan sebagai norma baru untuk menerjemahkan Pasal 7 UUD 1945. Pemohon juga menilai bahwa Pasal 7 UUD 1945 dengan jelas tidak membatasi hak bagi presiden dan wakil presiden terpilih untuk mencalonkan diri lagi pada masa jabatan selanjutnya.
Dalam pembacaan putusannya, Ketua MK Anwar Usman menegaskan menolak seluruh permohonan. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar dalam pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/1/2023) kemarin.
Dikemukakan sejumlah alasan penolakan tersebut yakni:
Pertama, berdasarkan Pasal 227 UU Nomor 7 Tahun 2017, menyatakan bahwa pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus melengkapi persyaratan dan salah satunya adalah surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
“(Syarat pendaftaran tersebut) adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945,” kata Hakim MK lainnya, Saldi Isra.
Kedua, MK menganggap Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Nomor 7 Tahun 2017 yang diujikan oleh pemohon telah berkesinambungan dengan Pasal 7 UUD 1945.
“Pasal tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan khusus penjelasan Pasal 169 huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017 juga menegaskan maksud ‘belum pernah menjabat dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama’ adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama sekali dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari lima tahun’ juga merupakan penegasan terhadap Pasal 7 UUD 1945,” beber Saldi Isra saat membacakan pertimbangan MK.
Ketiga, berdasarkan hal tersebut, ketentuan yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Nomor 7 Tahun 2017 harus dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu.
“Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden,” kata Saldi Isra.
Keempat, MK berpendapat bahwa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum.
“Dengan demikian, dalil pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Menimbang bahwa terdapat hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya,” jelas Saldi Isra. (RN)