NewsNow.id, Jakarta – Sebuah putusan pengadilan yang dilakukan oleh Majelis Hakim haruslah mengandung unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hal ini menjadi pertimbangan logis dari Majelis Hakim, pun terkait dengan kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Pandangan hukum dari sisi lain yang disampaikan Prof Gayus Lumbuun di salah satu stasiun televisi banyak mengundang protes dari sejumlah warganet. Meski tak sedikit juga yang memuji pandangan hukum mantan Hakim Agung ini. Padahal, Prof Gayus coba mengupas kasus terbunuhnya Brigadir J ini dari sudut pandang hukum yang sesungguhnya.
Dalam tayangan Karni Ilyas Club yang tayang di Youtube, Prof Gayus dengan lugas mengatakan, menurut jaksa penuntut umum (JPU) pemicu pertama adalah adanya telepon dari Putri Candrawathi kepada Ferdy Sambo terkait dugaan adanya pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J. “Tentu menjadi pertanyaan, apakah FS punya keinginan membunuh tanpa adanya motif,” kata Gayus.
Motifnya jelas, lanjutnya, karena adanya berita pelecehan seksual. “Karena tidak ada bukti visum dan lainnya, maka semua pihak sepakat kalau ini (pembunuhan) terjadi bukan karena pelecehan,” urainya.
Bagi Gayus, kalau JPU tidak bisa membuktikan dalil pelecehan, lantas apa motifnya? “Dasar dari sebuah pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) adalah bagian tertinggi yang harus dicermati. Tanpa dasar tidak akan terjadi,” kata Gayus.
Dia mengatakan, apa yang menjadi dasar Sambo melakukan hal tersebut? Beberapa waktu lalu pengacara keluarga Brigadir J mengatakan, kasus ini berkaitan dengan 303. “Saya tanyakan, apakah tersebut sudah diselidiki, ternyata belum. Disinilah ada missed link. Kalau tidak diakui oleh JPU pembunuhan karena ada pelecehan, lantas apa dasarnya? Sampai hari ini tidak terungkap,” terang Gayus.
Dikatakannya, semua terdakwa juga harus mendapatkan keadilan. Tidak sertamerta dijatuhi hukuman tanpa kejelasan apa penyebab terjadinya pembunuhan itu.
Berbagai pandangan Prof Gayus menuai pro-kontra. Namun disayangkan muncul street justice (pengadilan jalanan), seolah-olah dirinya membela Sambo. “Sejak awal saya sudah katakan Sambo bisa dihukum berat asal memenuhi asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan,” tukasnya kepada NewsNow.id, di Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Dia menilai, street justice sangat tidak baik karena tidak menguasai hukum, tapi hanya bisa memaki-maki, menghina, dan merendahkan orang lain. Menyitir ucapan Mulyana W Kusumah, street justice itu diibaratkan geng pita kuning. “Di luar negeri street justice juga disebut sebagai geng pita kuning karena segala cacian itu dimuat di yellow news paper. Ini menyesatkan,” serunya.
Prof Gayus mengatakan, tidak boleh ada street justice. Kalau social justice (keadilan sosial) sah-sah saja. Tidak boleh ada geng pita kuning di Indonesia karena sangat berbahaya, mempengaruhi pemikiran orang. Padahal, yang menghina-hina itu belum tentu memahami konstruksi dan filosofi hukum sebenarnya,” imbuhnya.
Dengan tegas ia mengatakan, “I am who I am (saya adalah saya). Perkara pahit atau manis dalam suatu kejadian perkara bukan hal yang penting bagi saya. Namun, saya akan tetap berjuang memberikan pandangan hukum yang benar atas sebuah kejadian perkara. Sekalipun saya direndahkan tidak mungkin menjadi sampah, pun disanjung tak mungkin menjadi rembulan”.
Belajar dari kasus Brigadir Yosua, Prof Gayus meminta rakyat Indonesia bisa melihat suatu perkara dari banyak sisi, bukan dengan mudahnya melakukan street justice. “Ini berbahaya dan bisa menyesatkan. Harus dipahami social justice itu mengerti persoalan dan menyampaikan masukan secara santun, sementara street justice cenderung tidak memahami persoalan, tapi langsung melakukan justifikasi, marah-marah bahkan mencaci maki,” ucapnya.
Meski begitu, sebagai insan beriman, Prof Gayus menegaskan, dirinya telah memaafkan mereka-mereka yang telah menistanya, melalui perkataan, cemooh dan hinaan. “Saya selalu diajar untuk bisa memaafkan orang yang bersalah, mungkin dia khilaf dan tidak mengerti soal hukum yang sesungguhnya,” pungkasnya. (RN)