NewsNow.id, Jakarta – Sidang putusan perkara terhadap para terpidana kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadulan Negeri Jakarta Selatan, selama 3 hari berturut-turut.
Seperti diketahui, Ferdy Sambo dikenai hukuman mati, Putri Candrawathi 20 tahun, Kuat Ma’ruf 15 tahun, Ricky Rizal 13 tahun, dan Richard Eliezer 1,5 tahun. Berbagai ekspresi dari para terdakwa pun bisa disaksikan, ada yang tegang, kecewa, dan terharu.
Harus dipahami, ini baru putusan pada pengadilan tingkat pertama, di mana masih ada beberapa upaya hukum lainnya pada pengadilan tingkat lanjutan, baik di Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Tentu ini apabila jaksa memutuskan untuk banding.
Kepada awak media, Pakar Hukum Pidana dan Kriminolog UI Adrianus Meliala menduga, karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan oleh pemerintah pada 2 Januari 2023 lalu, besar kemungkinan pengacara Ferdy Sambo bakal mengulur waktu sampai KUHP baru itu berlaku pada 2026 mendatang.
“Penerapan KUHP baru pada Sambo pasti akan diulur oleh pengacaranya Sambo. Kan KUHP baru akan diterapkan mulai 2026 nanti, jadi baru bisa Sambo banding, lalu kasasi, lalu kemudian peninjauan kembali (PK),” ungkap Adrianus, di Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Dia menjelaskan, PK bisa dilakukan berkali-kali. Ulur terus sampai masuk 2026 berlaku masa KUHP baru, dan ketika itu (berlaku) dia tidak akan kena eksekusi (vonis mati). Dalam KUHP baru memberi masa percobaan selama 10 tahun bagi terdakwa. Bila berkelakuan baik, hukuman dapat diringankan.
“Hukumannya sudah jatuh, mati, tapi ditunda 10 tahun, logikanya dengan pidana percobaan. Jadi kalau Anda selama masa tertentu tidak membuat pidana, maka pidana itu tidak dilakukan ke Anda,” imbuhnya.
Diuraikan seperti dalam peradilan adversarial di Amerika Serikat, di mana terdapat istilah 3 strike and you out. Analogi hukum itu disebut mirip dengan yang berlaku dalam dunia baseball.
“Kalau kita mukul bola tidak kena, one strike, two strike, begitu 3 kali bola enggak kepukul juga, maka si pemukul langsung masuk kokpit, diganti pemukul lainnya,” beber Adrianus.
Karenanya, hukuman mati dilaksanakan bila terpidana melakukan kesalahan sebanyak tiga kali. Istilahnya, semacam penundaan hukuman.
Di sisi lain terhadap terpidana Richard Eliezer, Prof Gayus Lumbuun pakar hukum pidana dan Hakim Agung 2011-2018 menegaskan bahwa kasus pembunuhan berencana itu tidak berdiri sendiri. Tidak mungkin tanpa sebab apa-apa orang mau membunuh. Pasti ada penyebab seseorang melakukan tindak pidana.
Karenanya, ujar Gayus, motif menjadi elemen yang penting pada suatu perbuatan yang melanggar hukum. Diuraikan, terhadap pelanggaran hukum (tindak pidana) ada 2 jenis kesalahan yakni:
- Apabila perbuatan pidana dilakukan secara sadar atau direncanakan. Ini disebut dengan dolus atau opzet als zeker yang artinya, kesengajaan dalam melakukan tindak pidana. Asas ini bisa dipidana.
- Apabila perbuatan pidana dilakukan tanpa disengaja atau lalai (culpa), bisa diartinya sebagau bentuk ketidakhati-hatian yang menimbulkan kematian orang lain. Ini tidak bisa dipidana.
Pada opzet als zeker, kata Gayus, haruslah dibuktikan motifnya secara keseluruhan. Jadi, harus diungkap secara jelas. Sementara pada culpa tidak perlu dibuktikan. Kembali ke perkara Sambo cs, apakah ini termasuk opzet als zeker atau culpa? “Jelas sekali, ini termasuk dolus karenanya motif harus diungkap,” pesan Gayus.
Menurutnya, kalau hakim tidak menguraikan motif dari pembunuhan berencana tersebut demi keadilan, maka di tingkat upaya hukum lanjutan, kemungkinan terjadi onvoldoende gemotiveerd, yang menurut pakar hukum M Yahya Harahap adalah putusan tidak seksama mempertimbangkan semua hal (fakta-fakta dalam persidangan) yang relevan dengan perkata yang bersangkutan. Atau bisa juga suatu keadaan yang tidak secara luas dibahas atau tidak lengkap dan menjadi membingungkan. Ini bisa berakibat merubah hukuman terhadap terdakwa atau membatalkan hukum sebelumnya.
Dirinya berharap, masyarakat cerdas melihat perkara ini. “Jangan terbawa emosional sehingga melihatnya hanya yang penting pelaku dihukum mati dan sebagainya. Dari sisi hukum tidak bisa begitu,” kata Gayus mengingatkan. (RN)