NewsNow.id, Batam – Presiden Direktur (Presdir) PT Adhya Tirta Batam (ATB) Benny Andrianto merasa heran atas wacana Kepala BP Batam Muhammad Rudi yang mengatakan akan menaikkan tarif air minum padahal SPAM Batam sudah untung dan memperoleh sekitar Rp 320 miliar per tahun.
“Sebuah perusahaan air minum perlu menaikkan tarif itu bilamana belum tercapai full cost recovery, istilah itu maksudnya kalau harga pokok produksi belum terpenuhi. Tapi kalau masih bisa membuat keuntungan, ya itu kan nggak boleh seharusnya,” ujar Benny, Rabu (18/1/2023).
Benny menjelaskan hal itu dalam acara Coffee Morning Media “ATB for Indonesia” di Adhya Building, Sukajadi, Rabu. Ia didampingi Head of Corporate Secretary Maria Jacobus dan Human Capital Manager Robertus Sudarsono.
Menurutnya, pendapatan yang diklaim Rudi mencapai Rp 320 miliar dari pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Batam itu seharusnya diinvestasikan lagi karena jumlah konsumen pasti bertumbuh kedepannya.
“Jadi kalau itu tidak dikembalikan sebagai investasi ya keteteran. Nah operator yang sekarang bertanggung jawab untuk mengoperasikan doang, di WTP dan distribusi, tidak termasuk investasi,” ungkapnnya.
Benny tidak setuju ketika masyarakat konsumen dibebani lagi dengan kenaikan tarif sebagai dana investasi SPAM Batam.
“Kalau modal itu diambil dari masyarakat, ya nggak perlu menggandeng swasta. Lakukan saja sendiri dengan masyarakat, kan bagian dari pemerintah,” tegasnya.
Ia katakan, tujuan pemerintah menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) adalah untuk mencari pihak ketiga yang mampu dari segi kompetensi maupun pendanaan (funding).
“Kalau cari partner, kalau partnernya nggak punya kemampuan pendanaan setidaknya punya kemampuan knowledge know-how, kompetensinya bagus. Kalau dua-duanya tidak, ya ngapain,” tutur Benny.
Benny setuju dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta pemerintah daerah tidak menaikkan tarif air agar dapat menahan inflasi.
“Saya berikan contoh saja urusan tarif PDAM, hati-hati. Menentukan itu bisa menjadikan inflasi naik,” kata Presiden Jokowi pada Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forkopimda Tahun 2023 di Sentul, Jawa Barat, Selasa (17/1).
“Penyesuaian tarif di saat ini ya nggak tepat lah, apalagi kalau Pak Jokowi sudah minta untuk tidak naik tarif air. Karena tahun 2023 ini kan tahun yang sulit, inflasi kita saja tinggi,” jelas Benny, Rabu.
Ia mengungkapkan, saat mengelola air minum di Batam dalam konsesi 25 tahun, ATB terakhir menaikkan tarif pada 2010 atau 12 tahun yang lalu.
“Kalau saya dulu mau naik tarif, selalu ketika saya ke dewan disuruh tingkatkan dulu pelayanan. Bagaimana mau naikkan tarif tapi pelayanannya nggak bagus?” tanya Benny.
Benny juga mengingatkan agar pihak pengelola lebih mempertimbangkan fungsi sosial dalam memenuhi suplai air minum yang adalah kebutuhan mendasar manusia. “PDAM atau pemerintah sebaiknya tidak boleh terlalu komersial karena dia mengemban fungsi sosial,” pesannya.
Sebagai informasi, PT ATB sebagai pemegang konsesi 25 tahun pengelolaan air di Batam yang berakhir pada 14 November 2020.
SPAM Batam kini dikelola BP Batam bersama swasta sebagai mitranya untuk operation and maintenance (OM) yakni konsorsium PT Moya Indonesia (entitas Salim Group) dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. Konsorsium ini membuat perusahaan patungan yaitu PT Air Batam Hilir dan PT Air Batam Hulu untuk mengelola SPAM Batam di hilir dan hulu selama 15 tahun.
Pertanyakan Biaya Rp 4,5 Triliun Dihitung dari Mana?
Diberitakan, Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan pihaknya berencana menaikkan tarif air minum guna mengumpulkan dana Rp 4,5 triliun untuk investasi jaringan perpipaan dan WTP. Katanya, itu agar suplai air minum tidak macet lagi karena kapasitas pipa sudah tidak memadai lagi dengan jumlah penduduk sekarang.
“ATB itu berakhir tahun 2020. Kami itu sampai dengan tahun 2019 masih pasang pipa sampai ke Tanjung Uncang, Batu Aji, kemana-mana. Artinya, pipa itu tidak ada istilahnya dipasang di tahun pertama untuk kebutuhan 25 tahun ke depan. Kita kan belum tahu pertumbuhannya,” tukasnya.
Pasca konsesi yang berakhir 14 November 2020, tegas Benny, ATB telah menyerahkan aset dalam kondisi dan berfungsi baik ke BP Batam. Penyerahan itu juga setelah melalui audit dari PT Surveyor Indonesia sebagai pihak yang berkompeten.
Benny juga mempertanyakan angka Rp 4,5 triliun itu didapat dari mana karena belum ada penjelasan komprehensif. Ia berharap investasi yang dilakukan SPAM Batam tidak sembarangan. Alih-alih memberikan nilai tambah pada kualitas pengelolaan air bersih, investasi yang serampangan justru berdampak pada pemborosan anggaran yang sia-sia.
“Investasi Rp 4,5 triliun dihitung dari mana? Dengan asumsi hingga kapasitas berapa? Lalu apa leverage bagi setiap nilai yang diinvestasikan terhadap pelayanan. Jangan sampai investasi dilakukan di tempat yang salah, akhirnya buang duit, buang waktu, buang tenaga, pelanggan tetap sengsara,” kata Benny.
Menurut Benny, SPAM Batam harusnya lebih cermat dalam meneliti sumber masalah. Dia memaparkan, Batam setidaknya butuh tambahan 300 liter per detik (lpd) dalam 2 tahun terakhir. Namun sayangnya, tambahan kapasitas tersebut diduga tidak kunjung dipenuhi.
“Bukan masalah pipa ini, lebih ke masalah produksinya. Emang mungkin ada pipa bisa dapat air kalau airnya nggak ada?” ucapnya. (*)