NewsNow.id, Jakarta – Rangkap jabatan seolah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, negeri yang berpenduduk 275 juta jiwa lebih, berdasarkan data BPS per Juni 2022.
“Rangkap jabatan, selain berpotensi korupsi juga rentan dengan konflik kepentingan,” ungkap Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lola Easter Kaban, di Jakarta, dikutip dari BatamNow.com, Jumat (17/03/2023).
Secara definisi, lanjut Lola, kata konflik kepentingan telah menggambarkan maknanya. Konflik kepentingan menggambarkan situasi ketika bertentangan dengan tanggung jawab dan tugas utamanya demi mendapat keuntungan pribadi.
Dari hasil kajiannya, belum ada aturan spesifik yang mengatur soal rangkap jabatan. Padahal, rangkap jabatan pasti beriringan dengan konflik kepentingan.
“Tidak selalu bermotif ekonomi, tidak harus keuntungan langsung yang diperoleh. Tapi ada situasi mempengaruhi keputusan yang tidak adil, itu sudah konflik kepentingan,” terangnya.
Lola mencontohkan, di Prancis, pengendalian konflik kepentingan di sektor publik diatur dalam Transparency in Public Life Act 2013. Isinya berfokus pada kewajiban berintegritas pejabat publik dan mendorong agar mereka menjalankan tugas secara independen, tidak memihak, serta objektif.
“Di Prancis, bila terjadi rangkap jabatan, yang bersangkutan harus mengundurkan diri. Kalau situasi tidak memungkinkan, ada banyak syarat (diperbolehkan). Sehingga sangat jarang, tidak dipromosikan untuk dilakukan pegawai atau pejabat publik di sana,” bebernya.
Di Irlandia Utara, ada lembaga khusus yang bertugas mengecek deklarasi konflik kepentingan yang disampaikan pejabat publik. Deklarasi yang dilakukan diperlakukan sebagai sumber informasi yang harus ditelusuri kebenarannya, sehingga ada tindak lanjut atas tindakan itu.
Sementara itu, di Australia terdapat larangan rangkap jabatan bagi pejabat publik. Bahkan, untuk pensiunan pegawai publik agar bisa bekerja lagi di sektor publik, ada cooling off period. Semacam masa tunggu sebelum bisa aktif bekerja kembali.
Di Batam, Kepulauan Riau, soal rangkap jabatan begitu kental. Secara kasat mata bisa dilihat, Wali Kota Batam Muhammad Riau yang sekaligus menjadi Kepala BP Batam ex-officio. Diduga ini (rangkap jabatan) menjadi salah satu biang kerok pelayanan publik yang tidak maksimal. Seperti distribusi air minum yang karut-marut di sebagian wilayah, proyek IPAL Batam yang tidak kelar-kelar sejak 2017 silam, dan masih banyak lagi lainnya.
Uniknya, meski masih dirundung banyak masalah, Muhammad Rudi dengan entengnya mau maju sebagai Gubernur Kepri pada Pilkada Serentak 2024 nanti. “Ngurus Batam saja gak beres, apalagi mau urus Kepri yang lebih luas lagi,” tutur banyak warga Batam.
Soal rangkap jabatan Rudi juga disorot oleh Ketua Umum Forum Komunikasi Rakyat Indonesia (Forkorindo), Tohom TPS. “Rudi tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai Wali Kota Batam yang harusnya memberi pelayanan kepada masyarakat secara benar. Dia lebih cenderung mikirin proyek-proyek di BP Batam, daripada ngurusin rakyat di Batam,” kata Tohom, di Jakarta, Jumat (17/03).
Dia menambahkan, sepanjang kepemimpinan Rudi, tidak ada prestasi yang menonjol. Bahkan warga di sana banyak teriak. “Mungkin tiap hari kerjanya hanya memantau proyek-proyek yang bisa mendulang cuan lebih cepat untuk modal Pilkada dan istrinya yang konon mau maju sebagai Anggota DPR RI atau Wali Kota Batam gantikan dia,” tandasnya.
Dengan tegas Tohom meminta Presiden Joko Widodo meninjau ulang dua jabatan yang diemban Rudi. “Presiden harus meninjau ulang dan memutuskan hanya satu jabatan yang dipegang oleh Rudi. Karena faktanya dengan dua jabatan tersebut, kerjanya tidak beres dan banyak warga di sana menderita,” tegasnya.
Bila rangkap jabatan itu dibiarkan terus, warga Batam akan semakin menderita, sementara pemimpinnya hanya sibuk menumpuk harta. (RN)