NewsNow.id, Batam – Nasib warga tempatan Pulau Rempang di balik riuhnya rencana pengembangan kawasan Eco-City, bukan lagi hanya pada isu penggusuran dari BP Batam.
Terbaru, sudah merembet ke dugaan terjadi perbuatan melawan hukum oleh seorang tokoh masyarakat yang sudah turun temurun berdiam di sana.
Diduga melawan hukum penyerobotan atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik BP Batam, sebagaimana penjelasan warga di sana.
Beranjak dari dugaan itu, Gerisman Ahmad, tokoh masyarakat Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, sekaligus sebagai Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) kini tengah dalam proses klarifikasi oleh aparat penegak hukum (APH).
Tak tanggung, masalah yang locus-nya di Batam, tapi menggelinding jauh, hingga Kejaksaan Agung turun meminta klarifikasi kepada Gerisman.
Menyikapi kondisi terbaru Assoc Prof Dr M Syuzairi MSi yang juga akademisi, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji dan kuasa hukum warga Pulau Rempang menulis opininya, dilansir dari BatamNow.com dan dimuat secara utuh sebagai berikut:
TUDUHAN BP Batam terhadap warga yang menuduh menyerobot HPL BP Batam adalah tidak mendasar.
Kewenangan BP Batam terkait HPL tidak mutatis mutandis sebelum didaftar ke Kementerian ATR/BPN untuk mendapatkan sertifikat HPL yang tentu dengan syarat harus bebas dari penguasaan masyarakat.
Ada yang salah menterjemahkan HPL yang diberikan negara kepada Otorita Batam (OB) era Presiden Soeharto dan sekarang sesuai dengan PP 46 Tahun 2007 berubah nama menjadi BP Batam.
PP tersebut, HPL Otorita Batam beralih menjadi HPL BP Batam termasuk HPL Pemerintah Kota Batam yang sudah diberikan sebelumnya.
Tentu pengalihannya secara prosedural dan karena menyangkut aset DPRD mestinya diminta persetujuan.
HPL sendiri kan merupakan gempilan dari tanah negara yang dapat diberikan berdasarkan UU Pokok Agraria 1960, sebab itu dapat diberikan prioritas pertama kepada daerah swatantra/Pemerintah Daerah, BUMN/D termasuk Otorita Batam.
Namun Keputusan Pemerintah dengan PP 46 Tahun 2007 dan terakhir PP 5 Tahun 2011 masih tidak berubah dengan menambah beberapa pulau seperti Janda Berhias.
Ini sedikit politis karena memang Pemerintah Kota Batam tidak terlalu serius mengurusi urusan pertahanan dengan alasan terlalu banyak konflik pertanahan yang tumpang tindih, padahal di sisi lain kewenangannya 9 urusan wajib bidang pertanahan melekat dalam UU 23 Tahun 2014.
Dalam hal ini tentu diterjemahkan, harus dibedakan konsep batas wilayah yang menjadi syarat berdirinya negara dalam hal ini Pemerintah Kota Batam dengan konsep HPL yang merupakan gempilan dari tanah negara atau HPL berada dalam wilayah administratif Kota Batam.
Negara Wajib Memberikan Hak Kepada Masyarakat
Bahwa definisi tanah negara pun tidak dapat diterjemahkan bahwa semua lahan di Wilayah Kota Batam adalah tanah negara.
Tanah negara didefinisikan tanah bebas seperti hutan lindung, tanah timbul, tanah musnah, Daerah Aliran Sungai (DAS) dan lain sebagainya yang tidak dilekatkan hak penguasaan masyarakat dan tanah negara yang dengan itikad baik diusahakan dan dipergunakan selama 20 tahun.
Untuk itu negara wajib memberikan hak tersebut pada masyarakat dan kebijakan pemerintah terakhir walaupun penguasaan belum melampaui 20 tahun.
Penguasaan masih diakui pemerintah apabila lahan tersebut terdampak proyek strategis nasional ataupun untuk kepentingan umum sebagaimana yang dimaksud Perpres 58 Tahun 2022 tentang Penanganan Dampak Sosial. Negara harus hadir di tengah masyarakat.
Bagaimana kita menyikapi kewenangan BP Batam di Kawasan Rempang, Galang dan pulau sekitar yang merupakan perluasan wilayah kerja Keppres 28 Tahun 1992, sebelumnya Keppres 41 Tahun 1973 dengan turunan aturannya Kepmendagri 43 Tahun 1977 yang diterjemahkan HPL Pulau Batam pun tidak menyeluruh tetapi parsial karena ada kewajiban bebas dari penguasaan masyarakat, didaftarkan ke BPN untuk mendapatkan sertifikat HPL baru ada kewenangan diberikan kepada pemohon pihak ketiga termasuk dapat menarik UWTO.
Dalam praktik selama ini apakah prosedur ini sudah dilalui?
Lalu, berangkat dari dilema pertanahan di Pulau Rempang yang rencana akan dikelola PT Makmur Elok Graha (PT MEG) dengan menggandeng investor yang melibat MoU antarnegara bukankah ini awal dari sebuah rencana investasi yang harus segera digesa atau harus di-schedule secara matang.
Bukan seperti main sulap sehingga dalam suasana menghadapi Hari Kemerdekaan, 17 Agustus pun masyarakat direpotkan dengan memintai keterangan dari berbagai pihak? Apa yang dilakukan ini tidaklah pas.
Baiknya mereka (masyarakat) mesti diberi kesempatan dulu untuk memeriahkan hak mereka sebagai warga negara untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI. Termasuk suasana jelang pesta demokrasi Pemilu mendatang.
Prof Dr Syuzairi Pun Memberi Catatan:
Untuk pengusaan lahan oleh BP Batam kalaulah benar yang dituduhkan masyarakat menyerobot lahan, kiranya perlu diuji .
Pertama, Keppres 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam sebagai Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone) yang menambah Pulau Rempang, Pulau Galang dan beberapa pulau lainnya.
Selanjutnya berkaitan dengan penguasaan lahan tentu harus diatur lebih lanjut Badan Pertanahan Nasional.
Kedua, Kepmen Agraria/Ka BPN No.9/VIII/1993, belum menyatakan lahan di sana HPL BP Batam.
Dalam keputusannya, dinyatakan “kesediaan BPN untuk memberikan HPL kepada Otorita Batam, dengan syarat; Biaya yang timbul menjadi beban penerima HPL; HPL diberikan untuk jangka waktu tanah digunakan dan didaftarkan ke Kantor BPN”.
Apabila terdapat tanah, bangunan, tanaman milik masyarakat wajib diganti rugi dan meminjam istilah reforma agraria terkini ganti untung.
Ketiga, memasuki era Otonomi Daerah dengan UU 53 Tahun 1999, kaitannya dengan bidang pertanahan UU 23 Tahun 2014 menjadi urusan wajib untuk ikut berperan dan menjadi catatan agar dilibatkan dalam hal mengatasi permasalahan lahan di Kota Batam.
Keempat, PP 46 Tahun 2007 Jo PP 5 Tahun 2011, bahwa lahan- lahan Repang, Galang dan pulau sekitarnya tidak diterjemahkan mutatis mutandis menjadi HPL BP terkecuali sudah mendapat sertifikat HPL yang bebas dari penguasaan masyarakat.
Kalau pun dapat diberikan HPL ke BP Batam saat ini tentu HPL-nya harus bersyarat karena ada kewajiban ganti rugi.
Kelima, dalam menetapkan kebijakan pertanahan tidak terkecuali di Kota Batam tentu kita menganut azas kesamaan hak di mata hukum berlaku juga untuk warga yang tidak berdaya secara adil.
Secara jelas reforma agraria mengedepankan hak rakyat yang dilandasi berbagai peraturan perUUan. UUPA 5 Tahun 1960; PP 24 Tahun 1997; UU 2/2012; UU Cipta Kerja; PP dan Permen ATR/BPN 18 Tahun 2021; Permen LKH 9 Tahun 2021; Permen terkait Tora 7 Tahun 2021.
Semua ini mengingatkan ada kepemihakan kepada rakyat dan kewajiban ganti untung.
Lalu bagaimana mengatasi dilema terkait permasalahan lahan di Kota Batam khususnya Rempang?
Kiranya, penyelesaian harus melalui pendekatan Kebijakan Publik, yaitu sebuah konsep menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah dengan mengedepankan penyelesaian secara damai non kekerasan karena memang SDA di Kota Batam sangat terbatas.
Catatan Terakhir:
Sebagai pegiat Otonomi Daerah, Akademisi, dan ikut mewakili warga, dalam menyelesaikan masalah Pulau Relang diharapkan untuk tidak terlalu fokus menggesa wujudkan kerja sama meski sudah ditandatangani.
Karena hal itu baru MoU, pun tidak ada sanksi kalau kegiatannya di-schedule ulang dengan pertimbangan Daftar Inventaris masalah yang harus dipetakan dulu.
Kemudian HUT RI dan Pesta Demokrasi Pemilu menjadi pertimbangan.
Hal yang terdepan adalah dampak sosial masyarakat terdampak karena proyek yang terlalu digesa sehingga tidak menghilangkan nilai-nilai sosial, budaya dan hayat hidup yang harus terjaga.
Walaupun pemerintah sudah punya skema mengatasinya tetaplah dan hak masyarakat dipertimbangkan.
Mengingatkan sekali lagi bahwa inti dari perjuangan masyarakat tidak menolak investasi masuk, yang ingin mereka pertahankan adalah kampung yang mereka diami secara turun temurun.
Agaknya masyarakat yang sudah terlanjur melihat peta Kota Batam ibarat sebilah keris dimana bagian dari keris, yakni pangkal dan ujungnya tidak boleh terpisah dan tidak boleh ada satu pulau yang dikuasai satu koorporasi yang berujung pada tindakan merelokasi.
Mungkin sama dengan filosofi rakyat Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang menganggap wilayah mereka seperti seekor Leong maka Kepala dan Ekornya tidak boleh terpisah harus menyatu karena kalau tidak akan menimbulkan malapetaka kedepannya dan inilah yang mendorong bersatunya Vietnam saat ini.
Agaknya alasan masyarakat untuk tidak direlokasi seluruhnya dari 16 titik kampung lama/tua perlu dipertimbangkan.
Selamat HUT RI yang Ke-78 , Semoga Kita tetap Jaya!!!. Terima kasih. (*)