NewsNow.id – Hari ini 56 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 22 Februari 1967, terjadi penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Dikutip dari Kompas.com (22/2/2020), penyerahan kekuasaan eksekutif atas Republik Indonesia (RI) ini dilakukan melalui surat tertanggal 20 Februari 1967.
Tepat di hadapan puluhan wartawan dalam dan luar negeri, Menteri Penerangan BM Diah pada 22 Februari 1967 membacakan surat tersebut di Kantor Presidium Kabinet Ampera, kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Surat Penyerahan Kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto
Terdapat empat poin dalam surat penyerahan kekuasaan dari Presiden pertama RI kepada Soeharto.
Berikut isi lengkap surat yang menjadi tanda berpindahnya kepemimpinan eksekutif:
Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR-S/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa, dan negara, maka dengan ini mengumumkan:
- Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR-S/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuaraan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS no IX/MPRS/1966 Jenderal TNI Soeharto sesuai dengan jika Ketetapan MPRS no XV/MPRS/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 45.
- Pengemban Ketetapan MPRS no IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada setiap waktu dirasa perlu.
- Menyerukan kepada rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat segebap aparatur pemerintah dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan dan menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS no XI/MPRS/1966 seperti tersebut di atas.
- Menyampaikan dengan penuh tanggung jawab pengumuman ini kepada seluruh rakyat Indonesia dan MPRS.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Jakarta, 20 Februari 1967
Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI
Soekarno
Lini Masa Penyerahan Kekuasaan
Berdasarkan pemberitaan Harian Kompas, 24 Februari 1967, penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto melalui sejumlah proses yang berlangsung sejak 7 Februari 1967.
Berikut lini masa proses pemindahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto:
7 Februari 1967
Soeharto menerima surat dari Presiden Soekarno yang bersifat pribadi/rahasia.
Surat itu diberikan melalui Hardi SH, yang mengantarkan konsep surat penugasan khusus.
Isi surat tersebut berkenaan dengan penyerahan tugas pemerintahan sehari-hari dari Presiden kepada Soeharto.
8 Februari 1967
Surat itu kemudian didiskusikan bersama empat Panglima Angkatan.
Namun, pembicaraan menyimpulkan bahwa tidak dapat menerima surat tersebut karena diprediksi tidak akan membantu menyelesaikan konflik politik yang terjadi.
10 Februari 1967
Soeharto menemui Presiden Soekarno untuk membicarakan surat tersebut. Ia melaporkan sikap Panglima Angkatan.
Presiden kemudian menanyakan kemungkinan lain yang bisa dilakukan.
11 Februari 1967
Empat Panglima Angkatan menemui Presiden Soekarno di Bogor, Jawa Barat. Soeharto mengajukan gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk mempermudah penjelasan konflik situasi yang terjadi.
Presiden kemudian meminta waktu untuk mempelajari dan meminta bertemu kembali keesokan harinya.
Konsep yang diajukan Soeharto berupa surat pernyataan.
Isi konsep surat itu, Presiden menyatakan berhalangan, Presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) sesuai Ketetapan MPRS No XV.
12 Februari 1967
Empat Panglima Angkatan kembali bertemu dengan Presiden Soekarno di Bogor untuk melanjutkan pertemuan sehari sebelumnya.
Presiden tidak dapat menerima gagasan yang diajukan Soeharto dan mengajukan amandemen mengenai bentuk dan isinya.
Soekarno menyatakan tak setuju dengan konsep surat pernyataan, dan isinya menyatakan tak setuju berhalangan.
Kemudian, ia meminta diagendakan kembali pertemuan keesokan harinya.
13 Februari 1967
Para Panglima Angkatan kembali bertemu untuk membicarakan konsep baru sebelum menemui Presiden Soekarno.
Panglima Angkatan Bersenjata sepakat satu konsep dan mengutus Tjipto Judodihardjo dan Panggabean.
Konsep baru yang diajukan adalah pengumuman penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada Supersemar sesuai Ketetapan No XV/MPRS/1966.
Keduanya kemudian menemui Presiden Soekarno. Namun, Presiden tetap menyatakan belum menerimanya dan meminta perubahan.
Kendati demikian, permintaan Soekarno sulit dipenuhi. Ia meminta, antara lain, menambahkan kata “pemerintahan sehari-hari”.
Antara 13-17 Februari 1967
Melalui penghubungnya, Mayjen Surjo Sumpeno, Presiden Soekarno menyatakan setuju dengan konsep yang terakhir diajukan.
Akan tetapi, ia meminta agar ada jaminan dari Soeharto. Permintaan Soekarno ini pun tak bisa dipenuhi.
Akhirnya, Soekarno menyatakan setuju dengan konsep pengumuman. Ia kemudian meminta pada 19 Februari 1967 dilakukan pertemuan di Istana Bogor.
19 Februari 1967
Digelar pertemuan di Istana Bogor antara Panglima Angkatan Bersenjata dengan Presiden. Kendati demikian, Soekarno belum mau menandatangani konsep yang telah disiapkan.
20 Februari 1967
Presiden memanggil panglima dan menyatakan setuju dengan konsep pengumuman, tetapi ditambahkan satu hal, yaitu penambahan kata “menjaga dan menegakkan revolusi”.
Pada sore harinya, Soeharto menemui Presiden Soekarno yang akhirnya mau menandatangani pengumuman itu. Akan tetapi, pengumuman ditunda karena menunggu hari baik.
22 Februari 1967
Seluruh menteri berkumpul di Istana Merdeka untuk mendengarkan Presiden dan membacakan pengumuman tersebut.
Pada malam hari, Menteri Penerangan BM Diah pun membacakan pengumuman Presiden yang pada intinya menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Sebelumnya pada 1966, Soekarno mengeluarkan Supersemar yang berisikan mandat kepada Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan dan menjaga keselamatan Presiden.
Surat perintah ini semula bertujuan untuk mengatasi konflik setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965 (G30S) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun dalam perkembangannya, Supersemar menjadi sangat kuat dan semakin mengantarkan Soeharto menjadi pemimpin tertinggi negara menggantikan Soekarno.
Bahkan, Soekarno tidak lagi bisa mencabut Supersemar ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966.
Saat itu, MPRS mencabut Soekarno sebagai presiden seumur hidup sekaligus memberi kewenangan Soeharto sebagai pengemban Supersemar untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966.
Hingga pada 1967, Soeharto mengambil alih kekuasaan penuh, dan dipilih menjadi Presiden pada 1968.
Soeharto terus terpilih menjadi Presiden pada setiap pemilihan yang dilakukan hingga berkuasa selama 32 tahun.
Ia kemudian menyatakan mundur pada 1998 setelah desakan melalui aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut adanya reformasi. (*)