NewsNow.id – Persoalan ekspor pasir laut kembali mencuat. Dibukanya kran ekspor pasir laut melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, sekaligus menjadi pertanyaan besar terkait komitmen pemerintah dalam menjaga eksosistem laut.
“PP Nomor 26 Tahun 2023 lebih cenderung memprioritaskan keuntungan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut, terutama dalam konteks hasil sedimentasi laut,” kata Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., dalam keterangan persnya, di Jakarta, Sabtu (3/8/2024).
Menurutnya, regulasi tersebut justru bertabrakan dengan Pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, yang secara eksplisit menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama.
“Dari itu diskrepansi antara kedua regulasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terutama di wilayah pesisir dan laut,” jelas Capt. Marcellus.
Dikatakannya, dalam perspektif hukum lingkungan, terjadi ketidaksesuaian antara PP 26/2023 dan UU Kelautan. Ini menjadi biang kerok dalam kerangka regulasi Indonesia.
Secara khusus, Capt. Marcellus meneliti hal tersebut, yang hasilnya dituangkan dalam thesisnya berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Berdasarkan Perlindungan Kelestarian Kelautan”, dan telah diuji, dipertahankan serta disidangkan, pada 20 Juli 2024 lalu, dengan hasil sangat baik dihadapan para penguji antara lain Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, SH., M.Hum (Ketua Penguji), Assc. Prof. Dr. Erwin Owan Hermansyah , SH., MH (Penguji I), dan Dr. Dwi Atmoko, SH., MH (Penguji II).
Konflik Regulasi
Dalam penelitiannya, Capt. Marcellus menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus untuk menyoroti ketidakselarasan antara regulasi dan realitas lapangan. Teknik analisis tersebut sangat membantu dalam mengorganisir dan mengurutkan data, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang konflik regulasi, dampak lingkungan, dan diskriminasi yang terjadi.
Dirinya menyimpulkan, perlu dilakukan revisi dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal.
Revisi yang dimaksud, kata Capt. Marcellus, harus didasarkan pada kajian ilmiah dan masukan dari berbagai pihak. “Agar mampu mengakomodir kepentingan yang beragam, serta meminimalisir potensi konflik di masa mendatang,” jelas Pembina dari Perhimpunan Mahasiswa Peduli Hukum (PMPH) ini.
Baginya, Undang-Undang yang seharusnya menjadi panduan utama dalam pengelolaan sumber daya laut, justru terpinggirkan oleh peraturan pemerintah yang lebih fokus pada aspek ekonomi.
Dengan lugas ia menegaskan, “Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut, terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat”.
Dirinya mencontohkan, banyak kasus penambangan pasir laut ilegal di Batam dan Tanjung Balai Karimun, di Kepulauan Riau.
“Kasus-kasus tersebut menunjukkan lemahnya penegakan hukum yang ditandai dengan ketidakadilan dalam pemberian sanksi terhadap pelaku ilegal. Sering kali, pelaku dengan kekuatan ekonomi besar mampu lolos dari jeratan hukum atau menerima sanksi yang ringan, sementara kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat signifikan,” tukasnya.
Fenomena ini, lanjut Hakeng, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum yang lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada perlindungan lingkungan.
“Dampak lingkungan dari penambangan pasir laut tanpa izin sangat merusak kondisi ekosistem laut. Aktivitas ini mengubah pola sedimentasi laut dan merusak habitat pesisir yang penting bagi keberlanjutan ekosistem laut,” tandas Capt. Marcellus.
Terjadi Degradasi
Selain itu, pencemaran akibat aktivitas tersebut juga memperburuk kondisi lingkungan laut, mempercepat degradasi sumber daya hayati laut, dan meningkatkan risiko bencana alam seperti erosi dan abrasi pantai. Penegakan hukum yang tidak efektif terhadap pelaku penambangan ilegal ini semakin memperparah masalah lingkungan laut yang sudah ada.
“Kondisi ini diperburuk oleh adanya kebijakan diskriminatif yang tercermin dalam PP 26/2023, yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya laut. Peraturan ini lebih condong mengatur perizinan bagi pelaku usaha besar, sementara masyarakat lokal yang hidup dari laut sering kali tidak memiliki akses yang sama. Diskriminasi ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya laut untuk kehidupan sehari-hari sering kali tersisih dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,” bebernya.
Untuk mengatasi masalah ini, lanjut Capt. Hakeng, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam pembuatan regulasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal serta pemangku kepentingan terkait. “Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada kepentingan ekonomi besar, tetapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kelestarian sumber daya laut,” usulnya.
Dia menekankan, pendekatan yang lebih holistik ini juga akan mendorong pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, selaras dengan tujuan jangka panjang dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. (R)