NewsNow.id, Jakarta – Terdakwa Arif Rachman Arifin menyesalkan sikap Ferdy Sambo yang turut menyeratnya ke pusaran kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Tak hanya Arif, lima anak buah Sambo lainnya di kepolisian kini turut menjadi terdakwa perintangan penyidikan atau obstruction of justice perkara kematian Yosua.
Ini Arif sampaikan saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (3/2/2023).
“Posisi yang saya alami adalah pimpinan saya merupakan sosok yang tidak menjaga. Pimpinan saya malah menarik saya ke dalam jurang dengan mengancam agar patuh,” kata Arif dalam sidang.
Menurut Arif, keamanan dan keselamatan anak buah seyogianya menjadi tanggung jawab atasan. Sudah selayaknya atasan mendukung, membela, dan melindungi bawahan.
Jika terdapat masalah, atasan seharusnya mencari solusi, membina, dan membimbing. Namun, hal ini tak tercermin di diri Ferdy Sambo.
Terseretnya Arif dalam kasus ini bermula ketika dia dan beberapa anak buah Ferdy Sambo lainnya menonton rekaman CCTV di sekitar TKP penembakan Yosua di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Betapa terkejutnya Arif melihat rekaman tersebut menunjukkan Yosua masih hidup ketika Sambo datang ke rumah dinas.
Sebab, narasi yang beredar saat itu menyebutkan bahwa Sambo tiba di rumah dinas setelah Yosua tewas karena terlibat baku tembak dengan Richard Eliezer atau Bharada E.
Seketika, Arif langsung melapor ke atasannya, Hendra Kurniawan, yang menjabat sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal).
Sedianya Arif berharap Hendra mendukung dia untuk melaporkan kejanggalan ini langsung ke pimpinan Polri. Namun, yang terjadi, Hendra justru mengajak Arif bertemu langsung dengan Sambo.
“Saya tidak mendapatkan dukungan dari atasan langsung saya, malah dihadapkan untuk tatap muka,” ujar Arif.
Di ruangan Sambo di Mabes Polri saat itu, Arif menceritakan kejanggalan yang dia lihat di rekaman CCTV.
Menurutnya, suasana ketika itu sangat tegang. Sambo tak bisa lagi mengontrol emosi hingga menangis di hadapannya.
Sampai akhirnya, terlontar ucapan dari Sambo bernada mengancam dan marah, mewanti-wanti Arif untuk tidak menyebarkan isi rekaman CCTV. Sambo juga memerintahkan Arif memusnahkan dokumen tersebut.
“Selanjutnya bahkan menjadi marah karena saya berusaha untuk jujur agar terlepas dari tarikan yang bisa menjerumuskan ke dalam jurang yang lebih dalam lagi,” kata Arif.
Arif pun ketakutan dan merasa terancam. Dia tak kuasa menolak perintah atasannya lantaran jabatan Sambo lebih tinggi darinya.
Akhirnya, tak lama setelah menghadap Sambo, Arif memerintahkan bawahannya untuk menghapus rekaman CCTV itu. Dia juga menghancurkan laptop yang sempat menampung dokumen tersebut.
“Saya hanya berharap setelah tidak dibela, dijerumuskan, dimusuhi, kini masih ada keadilan untuk saya di persidangan ini,” tutur Arif dengan suara bergetar menahan tangis.
Adapun Arif merupakan satu dari tujuh terdakwa perintangan penyidikan atau obstruction of justice perkara kematian Brigadir Yosua.
Eks Wakaden B Biro Paminal Propam Polri itu dituntut pidana penjara 1 tahun oleh jaksa penuntut umum (JPU). Arif juga dituntut pidana denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam perkara ini, Arif berperan meminta penyidik Polres Jaksel menjaga berita acara pemeriksaan (BAP) istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, terkait dugaan pelecehan fiktif dengan dalih aib.
Arif juga disebut jaksa telah mematahkan laptop yang sempat digunakan untuk menyimpan salinan rekaman CCTV di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo.
Selain Arif, enam orang lainnya juga didakwa melakukan perintangan penyidikan kasus Brigadir J. Keenamnya yakni Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, dan Irfan Widyanto.
Pada pokoknya, keenam terdakwa dinilai melakukan perintangan penyidikan kematian Brigadir J dan melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)