Lahan Rempang Beralih Status dari APL ke HPL
Baik Gerisman maupun Rizal sekilas berkisah tentang sejarah Pulau Rempang dan Galang dan sekitarnya, sejak dahulu.
Bagaimana perjalanan panjang keberadaan mereka sebagai warga tempatan di pulau itu kala masih wilayah Bintan, Provinsi Riau tahun 1980-an.
Satu hal yang sangat mendasar yang disampaikan sekaligus mereka keluhkan adalah soal nasib warga di sana yang tak pernah mendapat haknya dari pemerintah atas legal tanah yang didiaminya selama ini.
Ternyata pemerintah tak pernah memberi legalitas atas lahan kampung atau legalitas alas tapak rumah mereka, hingga kini.
Padahal berpuluh tahun mereka sudah tinggal di sana. Bahkan lebih dari itu. Jauh sebelum BP Batam (dulu Otorita Batam-OB) ada.
Dan ironisnya di saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagi sertifikat gratis tanah di seluruh Indonesia, tak demikian bagi warga Rempang.
“Pemerintah tidak pernah mau tahu dengan kondisi kami yang sudah sejak dahulu mendiami tanah dan kampung di sini,” ujar Rizal.
Gerisman sampai mengulik sejarah gugusan Rempang-Galang sejak tahun 1800-an sampai era kewedenaan hingga semasa di bawah Bintan, Provinsi Riau.
Ia hendak menjelaskan bagaimana hidup dan kehidupan mereka yang membumi di pulau itu sebelum BP Batam ada. Jauh sebelum pembangunan jembatan yang menyambungkan pulau-pulau itu.
Tapi di saat penantian panjang, alih-alih legalitas lahan kampung, justru bayang-bayang penggusuran dari pemerintah menghantui mereka, kini.
Bayang-bayang itu muncul, misalnya, setelah Kementerian ATR/BPN mengalihkan status Pulau Rempang dari Area Penggunan Lain (APL) menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam.
Sesuai dengan amanat undang-undang, kawasan APL diperuntukkan untuk lokasi pemukiman penduduk, fasilitas publik, lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, industri, pembangunan infrastruktur publik, dan fungsi lainnya.
Begitu lama kampung mereka dalam status kawasan APL yang sepatutnya kampung tua mereka sudah sangat layak disertifikatkan.
Tapi dalam penantian panjang itu, bayang-bayang relokasi alias penggusuran yang tengah mereka hadapi.
Apalagi mencuat pernyataan dari pihak PT MEG yang akan memberi ganti rugi kepada warga yang terkena proyek pengembangan Pulau Rempang. Ramai di media daring.
Relokasi di depan mata, isu ini diperkuat oleh kebijakan Pemerintah Kota Batam yang meng-hold dana Percepatan Infrastuktur Kelurahan (PIK) Tahun Anggaran 2021-2022 dan 2022-2023 sebesar Rp 2,6 miliar untuk tiap kelurahan.
Menurut mereka tak jelas apa alasan Pemko Batam tidak menyalurkan dana PIK itu. “Mengapa tak dikucurkan, kalau bukan signal akan adanya relokasi kampung di Rempang ini, kan anggaran sudah disetujui oleh DPRD Kota Batam?” ujar Rizal.
Dalam kesempatan wawancarai itu, Gerisman menjelaskan tentang demografi dan geografi pulau yang mereka diami.
Pulau Rempang, katanya, dihuni sekitar 8-10 ribu warga setempat. Mereka berdiam dan beranak pinak di 16 kampung tua yang dihuni warga Melayu sejak berapa puluh tahun lalu, bahkan lebih dari itu.
Ke-16 kampung tua itu berada di dua kelurahan, yakni Kelurahan Rempang Cate dan Sembulang, Kecamatan Galang.
Pulau Rempang adalah pulau terluas kedua di gugusan Pulau Batam, Rempang dan Galang (Barelang).
Posisi Pulau Rempang terhitung mulai dari Jembatan IV hingga Jembatan V dari enam jembatan yang menghubungkan Barelang dengan Jembatan I yang ikonik nan tersohor. Jembatan I bernama Jembatan Tengku Fisabilillah, Jembatan Nara Singa (Jembatan II), Jembatan Raja Ali Haji (Jembatan III), Jembatan Sultan Zainal Abidin (Jembatan IV), Jembatan Tuanku Tambusai (Jembatan V), Jembatan Raja Kecik (Jembatan VI).
Adapun luas pulau Rempang sekitar 165 km2. Sedangkan total luas seluruh kampung warga yang tersebar di 16 titik diperkirakan 800 hektare. “Ya, luas setiap kampung yang dihuni warga rata-rata 50 hektare ke bawah setiap kampung, belum termasuk kebun yang diusahai,” kata Gerisman.