NewsNow.id, Jakarta – Operasi tangkap tangan (OTT) yang kerap dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lantas membuat indeks korupsi di Indonesia naik signifikan. Yang ada malah merosot, dibawah Malaysia.
Dalam paparan yang disampaikan Transparency International Indonesia (TII) diketahui, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021.
Kondisi ini membuat posisi Indonesia melorot 14 tangga, di mana pada 2021 lalu berada di urutan 96, kini peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Adapun skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Dalam keterangan persnya, Selasa kemarin, Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, skor 34 yang diperoleh Indonesia di 2022, merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.
“Pada satu dekade, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012,” terangnya.
Di lingkup Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23).
Sementara di level global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru (87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83) serta Swiss (82). Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), serta Venezuela (14).
Dijelaskan, ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia tersebut, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun menjadi 35 dari 48 pada 2021.
Wawan membeberkan, penilaian IMD World Competitiveness Yearbook (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun lima poin dari 44 menjadi 39, serta indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun menjadi 29 dari 32. Sementara tiga indeks yang stagnan adalah Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47.
Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33 dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37.
Selanjutnya ada dua indeks yang naik, yaitu World Justice Project – Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23, dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22.
“Sayangnya indeks yang naik satu atau dua poin berpengaruh tidak besar bandingkan dengan Political Risk Service yang turun 13 poin sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34,” jelas dia.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, penyebab turunnya indeks korupsi di 2022 dibanding 2021 adalah lantaran pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum terstruktur, massif, dan sistematis.
“Tiap tahun kita deg-degan nungguin indeks ini. Kalau kita sudah punya sistem pemberantasan terpadu, kita yakin tahun depan naik, tahun depan naik lagi. Karena belum sistematis, makanya naik turun,” ujarnya di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Pahala menilai, ada tiga hal yang paling urgensi untuk segera dilakukan perbaikan agar indeks korupsi di Indonesia menurun yakni, ekspor-impor, tata niaga perdagangan, dan perpajakan. (RN)