NewsNow.id, Jakarta – Perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) menjadi bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sebab itu adalah amanat Konstitusi Indonesia.
Penegasan itu dikatakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) Prof Dr Otto Hasibuan pada Seminar Nasional bertema “Proteksi Diri dari Predator Seksual” yang diadakan Peradi bekerjasama dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), secara hybrid, Kamis (26/1/2023).
“Persoalan kekerasan seksual sudah ada sejak dahulu kala. Karena itu, kehadiran UU TPKS sangatlah penting, termasuk ekses berlakunya UU itu,” kupas Prof Otto.
Prof Otto menilai, munculnya anggapan bahwa negara tidak perlu mencampuri penyelesaian persoalan kekerasan seksual karena harus diselesaikan antar-individu adalah keliru karena UUD menyatakan melindungi HAM.
Baginya, dalam menangani kekerasan seksual, sambung Prof Otto, haruslah memperhatikan korban. “Hak asasi manusia harus diproteksi oleh negara dan negara harus hadir. Karenanya, seminar nasional ini sangat penting sekali,” tambah Prof Otto.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam sambutannya mengatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran HAM yang harus dihapuskan.
Dia mengungkapkan hasil survei pengalaman hidup perempuan nasional tahun 2021, di mana 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun, mengalami kekerasan fisik dan atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
“Bahkan prevalensi kekerasan seksual oleh selain pasangan dalam setahun terakhir meningkat dari 4,7% pada 2016, menjadi 5,2% pada tahun 2021,” ungkapnya.
Dijabarkan, hasil survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja tahun 2021, yakni 4 dari 100 anak laki-laki usia 13–17 tahun di perkotaan, pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk kontak maupun nonkontak di sepanjang hidupnya. Sementara di pedesaan, prevalensinya sebanyak 3 dari 100 anak laki-laki. “Bagi anak perempuan yang tinggal baik di perkotaan bahkan perdesaan, prevalensinya bahkan 2 kali lipatnya anak laki-laki, yaitu 8 dari 100,” katanya.
Bintang menilai, angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es, yakni jumah korban dan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan.
“Keadaan ini harus menjadi perhatian kita semua karena dampak yang ditimbulkan kepada korban mengakibatkan penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan juga sosial,” pintanya.
Oleh karena itu, kata Bintang, lahirnya UU 12 Tahun 2022, merupakan suatu bukti bahwa negara sangat berupaya melindungi rakyatnya. Ia berharap semua pihak mengawal implementasi UU tersebut demi terciptanya lingkungan yang aman dan bebas dari tindak kekerasan seksual.
Sementara itu, Rektor UKI, Dr Dhaniswara K Raharjo menyebutkan salah satu indikator kekerasan seksual adalah adanya pemaksaan. Siapapun, baik perempuan atau laki-laki harus berani melawan. “Jadi kalau merasa tidak nyaman, tentu harus berani menyatakan tidak dan melaporkan kepada pihak yang berwenang,” tukasnya. (RN)