NewsNow.id, Batam – Polemik tentang dasar hukum pemeriksaan polisi terhadap sejumlah anggota DPRD Kota Batam periode 2014-2019, kini mencuat dan heboh.
Polemik pertama adalah argumentasi atau persepsi hukum dimana pengakuan sejumlah anggota DPRD terperiksa, posisi mereka hanya sekadar dimintai klarifikasi biasa dan bukan dalam ranah penyidikan.
Polemik kedua adalah tetang dasar hukum kepolisian yang langsung memeriksa para anggota DPRD yang tidak lagi dengan izin tertulis dari Gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-undang terdahulu.
Soal polemik kedua ini dijawab Kasat Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polresta Barelang Kompol Budi Hartono, lewat konfirmasi, bahwa pemeriksaan yang tengah mereka lakukan sudah masuk pada proses penyidikan (sidik) bukan penyelidikan (lidik).
“Sudah masuk proses sidik,” jawab Kompol Budi, diutip dari BatamNow.com, Jumat (17/3/2023).
Selanjutnya tentang tak perlu lagi izin pemeriksaan dari Gubernur, Kompol Budi Hartono juga mengirimkan screenshot Surat Kabareskrim Polri Nomor B/5308/IX/RES.7.5/2020/BARESKRIM, tentang pengaturan terkait anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten yang tidak lagi dimuat pengaturannya dalam Undang-undang No 17 Tahun 2014.
Bunyinya begini: “…dengan demikian, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPRD tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri untuk Anggota DPRD Provinsi dan persetujuan tertulis Gubernur untuk Anggota DPRD Kabupaten/Kota”.
Menyangkut definisi penyidikan, media ini mengutip Pasal 1 angka (2) KUHAP: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Nah, pertanyaannya: siapa saja yang kelak dijadikan tersangka hasil ulik penyidik dalam dugaan kasus korupsi dana perjalanan fiktif anggota DPRD Kota Batam yang menggunakan anggaran daerah tahun 2016 itu?
DPRD Batam Bantah Lakukan Perjalanan Dinas Fiktif
Kompol Budi Hartono kepada redaksi media ini, Kamis (16/03), menegaskan bahwa kasus yang mereka tangani adalah dugaan korupsi perjalanan dinas FIKTIF anggota DPRD Kota Batam periode 2014-2019. Hingga hari ini, Jumat (17/03) masih berlangsung pemeriksaan di Ruang Sekretariat DPRD Batam. Dijadwalkan, penyidik memeriksa para anggota dewan secara maraton hingga Senin (20/03).
Namun beberapa anggota DPRD terkait membantahnya dan menegaskan perjalanan dinas yang mereka lakukan tujuh tahun lalu itu adalah perjalanan dinas yang sah alias legal.
Kecuali, menurut mereka, terkait biaya tiket transportasi pesawat udara komersil yang mereka gunakan, memang tersandung masalah.
Dulu, ujar mereka, Sekretaris DPRD Batam Marzuki yang biasa menangangi dan membayar langsung biaya tiket mereka ke biro travel setelah anggaran cair. Para anggota DPRD hanya diserahkan bukti boarding tiket.
Namun, kata mereka lagi, entah bagaimana biaya pembelian tiket itu yang masih tercatat utang di biro travel sekitar Rp 600-an juta dari sekitar Rp 1 miliar. “Inilah yang jadi masalah dan bukan menjadi taggung jawab kami lagi,” ujar Ketua DPRD Batam Nuryanto dan Udin Sihaloho yang sama sama dari Fraksi PDIP itu.
Demikian juga anggota DPRD Kota Batam yang lain, semisal Lik Khai dari Partai NasDem: menyatakan hal yang sama.
Apapun bantahan dari para anggota DPRD Kota Batam ini sah-sah saja dan sekaligus menjadi tantangan berat bagi penyidik Polresta Barelang untuk dapat membuktikan serta menetapkan siapa tersangka yang diduga “menilap” biaya perjalanan dinas itu.
“Tantangan” berat karena yang disidik adalah para anggota DPRD “yang terhormat” yang pasti akan menjaga pertanggungjawaban moral dan mempertahankan harga dirinya, apalagi bagi yang akan maju bertarung di Pileg tahun 2024.
Perkembangannya kini seolah terbangun satu kondisi ”perang” terbuka di pembuktian penyidik yang ditepis para anggota dewan periode lalu.
Di pihak penyidik menegaskan bahwa kasus yang tengah ditangani adalah “dugaan korupsi biaya perjalanan dinas fiktif”. Sementara di pihak legislatif tersandung, membantahnya.
Selain itu, riuh juga spekulasi bahwa polisi sudah menemukan bukti-bukti permulaan yang bisa menyibak dan mentersangkakan “pemain” culas di kasus dugaan korupsi ini.
Spekulasi yang berkembang bisa saja perintah perjalanan dinas itu resmi atau prosedural formal secara kelembagaan, namun tak tertutup kemungkinan ada “kongkalikong” di lingkup perjalanan dinas itu. Disebutkan, polisi atau penyidik bisa jadi telah mengantongi bukti siapa-siapa yang curang di kasus ini.
Dugaan curang, misalnya, seorang oknum anggota dewan menerima perintah Surat Perintah Perjalanan (SPJ) dinas, namun individu oknum anggota dimaksud tidak ikut berangkat, tapi menerima uang perjalanan plus biaya tiket dengan bukti tanda tangan penerimaan.
Apalagi didapat informasi bahwa penyidik sudah lebih awal memeriksa beberapa saksi kunci di kasus ini, termasuk mantan Sekwan Marzuki, meski belum terkonfirmasi media ini.
Utang Tujuh Tahun Lalu Jadi Temuan BPK, Tapi Belum Lunas Juga
Bagaimanapun, kasus ini hal tak terpisahkan dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemko Batam di atas tahun 2016.
Dan spekulasi liar menggelinding, kemungkinan besar cakupan penyidikan yang dilakukan polisi Polresta Barelang tidak terhenti pada satu titik masalah yang dipicu utang ke biro travel yang masih menunggak selama tujuh tahun.
Bisa jadi melebar dan menyasar ke biaya lain yang mungkin “bonyok” dibagi-bagi tapi tak jelas administrasi pertanggungjawabannya, meski sudah ada bantahan dari pada anggota dewan.
Tapi hakul yakinnya para anggota DPRD yang tak terlibat culas di ranah perjalanan dinas itu adalah sesuatu hak dan penjelasan yang perlu dihargai.
Biarkan dan beri kesempatan bagi penyidik kepolisian untuk bekerja dengan presisi dan objektif.
Dan dalam perkembangannya kekinian para penyidik sudah bekerja profesional dengan pertanyaan “selow” namun kadang dapat membuat psikologi dan mental terperiksa “kembut-kembut”. (*)