NewsNow.id, Jakarta – Kebutuhan akan nikel dunia sangat besar. Dan, Indonesia merupakan salah satu negara pemilik tambang nikel terbesar di dunia.
Merujuk pada Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel dunia pada tahun 2022 diperkirakan mencapai 3,3 juta metrik ton, atau meningkat sekitar 21 persen dari produksi tahun 2021. Dari angka tersebut, 48 persennya atau sekitar 1,6 juta metrik ton adalah produksi Indonesia.
Hal tersebut dikatakan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat menghadiri APNI Friendly Gathering – Improving Nickel Upstream to Downstream Industry to Support Indonesia ASEAN Chairmanship 2023 & Indonesia Gold 2045, di Hotel Raffles, Jakarta, Senin (6/3/2023).
Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menjelaskan, cadangan nikel Indonesia diperkirakan mencapai 72 juta ton nikel. “Sebanyak 90 persen cadangan nikel Indonesia tersebar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dengan perkiraan cadangan bijih nikel sebesar 2,6 miliar ton bijih nikel. Maluku Utara dengan perkiraan cadangan bijih nikel sebesar 1,4 miliar ton. Serta Papua dan Papua Barat yang diperkirakan memiliki cadangan bijih nikel mencapai 0,06 miliar ton,” urainya.
Dia mengatakan, pengelolaan nikel dan barang tambang lainnya serta sumber daya di Indonesia harus dilandasi semangat nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Karenanya, segala aspek dan dimensi dalam sektor SDA, termasuk dari sisi entrepreneurship-nya, harus menempatkan nasionalisme dan wawasan kebangsaan sebagai landasan berpijak.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Nanan Soekarna mengatakan, sebagai mitra pemerintah, APNI tidak hanya memperjuangkan aspirasi para penambang nikel di sektor hulu, namun mendukung program pembangunan sektor pertambangan, khususnya komoditas nikel di Indonesia.
Nana menambahkan, di usianya yang ke-6 tahun, APNI berkomitmen untuk mendorong percepatan integrasi ekonomi Indonesia di ASEAN.
Di tempat yang sama, Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey menuturkan, APNI berada di garda terdepan dalam memanfaatkan sumber daya nikel terutama untuk kebutuhan bahan baku baterai. Dengan diserapnya nikel menjadi baterai kendaraan listrik, maka pendapatan negara akan semakin tinggi.
“Nikel merupakan komoditas yang dibutuhkan bahan baku EV battery. Dan Indonesia merupakan negara pemilik sumberdaya, cadangan, bahkan produsen nikel terbesar dunia. Maka, nikel Indonesia menjadi incaran dunia internasional,” terangnya.
Turut hadir pada perayaan 6 tahun APNI yaitu, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura, Tri-Founders Philip Kotler Center for ASEAN Marketing Hermawan Kertajaya, dan CEO ESQ Leadership Center Ary Ginanjar Agustian serta jajaran pengurus pusat APNI dan ratusan undangan yang mayoritas pengusaha nikel.
Lebih jauh Bamsoet menjabarkan, saat ini nikel menjadi salah satu komoditas global yang semakin populer dan dibutuhkan. Salah satu alasan utamanya adalah karena nikel menjadi elemen atau bahan baku penting untuk pembuatan baterai kendaraan listrik yang saat ini tengah menjadi tren dunia.
Menyitir riset Goldman Sachs, Bamsoet memaparkan, diperkirakan penjualan kendaraan listrik akan melonjak menjadi sekitar 73 juta unit pada tahun 2040. Naik dari sekitar 2 juta unit pada tahun 2020. Selama rentang waktu tersebut, penjualan mobil listrik diperkirakan juga meningkat, dari 2 persen menjadi 61 persen dari total penjualan mobil global.
“Konsekuensi dari pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik dunia, tentunya adalah lonjakan kebutuhan baterai kendaraan listrik, dengan nikel menjadi elemen utamanya,” tukasnya.
Sekalipun Indonesia memiliki cadangan nikel berlimpah, kata Bamsoet, namun penting diingat bahwa nikel adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Artinya, akan habis pada masanya. Meskipun cadangan bijih nikel Indonesia diperkirakan bisa dimanfaatkan hingga kurun waktu 73 tahun, eksploitasi yang berlebihan dan tanpa kendali, tentunya akan memperpendek usia cadangan nikel yang dimiliki Indonesia.
“Sebagaimana diamanatkan Konstitusi, khususnya pasal 33 ayat (3), bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, merujuk pada ketentuan pasal 33 ayat (4), penyelenggaraan perekonomian nasional, termasuk di dalamnya pengelolaan sumberdaya alam, harus berpedoman pada prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian,” imbuh Bamsoet. (RN)