NewsNow.id, Jakarta – Pembukaan kembali ekspor pasir laut, setelah 20 tahun lebih dibekukan, dinilai sebagai kebijakan yang tidak pro kepada rakyat kecil, utamanya nelayan.
Dibukanya kembali keran ekspor pasir laut hasil sedotan kapal isap juga dinilai berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah, bahkan Indonesia bisa kehilangan pulau.
Oleh karena itulah Partai Demokrat (PD) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut beleid ekspor pasir laut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
“Kami menolak dibukanya penambangan pasir laut dan rencana ekspornya. Ini sangat membahayakan ekologi, nelayan, dan warga di kawasan pesisir,” kata Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dilansir dari BatamNow.com, di Kantor DPP PD, Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi cermin minimnya empati pemerintah terhadap nasib rakyatnya. “Larangan ekspor pasir laut sudah diberlakukan sejak 2003 lalu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, tapi oleh Presiden Jokowi malah dibuka. Ini jelas membahayakan warga di kawasan pesisir, nelayan, dan berpotensi mengancam kedaulatan negara,” tukasnya.
Ketika ditanya, mengapa di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak dibuka ekspor pasir laut?
Lalu AHY menjelaskan bahwa era Presiden SBY lebih mengutamakan keutuhan wilayah dan berupaya menjaganya agar tidak hilang, apalagi untuk kepentingan korporasi saja.
Disebut mudaratnya jauh lebih besar dibanding kemanfaatannya.
“Kita bisa cek ya, ketika diizinkan saja ekspor pasir laut, berapa keuntungan negara yang diperoleh? Tidak besar! Karena menurut laporan, berapa banyak volume pasir laut yang diekspor tidak jelas. Jauh lebih banyak yang ditutup-tutupi dan dilakukan secara ilegal,” tambah AHY.
Dengan keuntungan negara yang kecil, sementara lingkungan pesisir jadi rusak, maka Presiden Megawati memutuskan menutup keran ekspor.
Namun kini di era Presiden Jokowi yang juga petugas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati itu ekspor pasir laut kembali dibuka.
“Saya yakin dengan dibukanya kembali ekspor pasir laut akan berulang lagi masalahnya. Pendapatan negara tidak akan besar, sementara mafia yang akan dapat keuntungan jumbo,” tukasnya.
Saat memimpin, lanjut AHY, SBY menilai tidak signifikan antara pendapatan dengan kerusakan yang dialami. Biaya pemulihan lingkungannya pun besar. “Di masa pemerintahan Pak SBY, tidak ada ruang untuk mengekspor pasir laut. Meski begitu, pasti ada yang diam-diam melakukan (ekspor). Tapi persentasenya pasti tidak sebesar bila terang-terangan dibuka seperti sekarang ini,” imbuhnya.
Dirinya juga tidak paham, kenapa Presiden Jokowi membuka ekspor pasir laut. “Apakah pemerintah sudah kehabisan uang sehingga mencari income dengan cara cepat? Sebab, dibanding barang tambang lainnya, pasir laut merupakan komoditi yang cepat menghasilkan uang,” tandasnya.
AHY tegas menolak pembukaan kembali penambangan dan ekspor pasir laut. “Jelas, kami menolak. Ini merupakan bentuk pengingkaran Pemerintahan Jokowi terhadap rakyat. Ini cara-cara kotor pemerintah meraup untung dengan mengabaikan keselamatan dan masa depan rakyatnya. Kalau dibilang untuk keperluan domestik, memangnya berapa banyak? Atau kenapa ada klausul boleh untuk ekspor? Ini cuma kamuflase saja, tujuan utamanya untuk ekspor,” tegasnya. (RN)