NewsNow.id, Jakarta – Keserakahan dari para oknum menjadi sumber kemelut di dunia ini. Ironisnya, tidak hanya di sektor ekonomi dengan mengumbar syahwat menguasai sumber-sumber kekayaan alam, tapi juga merambah dunia politik dan agama.
Untuk itu, para pemimpin agama diingatkan untuk secara aktif mendorong pencerdasan umat beragama sehingga tidak terjebak pada simbol-simbol agama semata, tetapi menukik pada intisari agama, yakni cinta, persaudaraan dan kemanusiaan.
Pesan tersebut disampaikan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom pada perayaan Harmony Week di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Minggu (5/2/2023).
“Banyak peristiwa kekerasan dan penganiayaan yang berlangsung di dunia ini mengatasnamakan agama. Padahal, kita semua tahu, agama tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Lalu, dari mana praktik kekerasan dan penganiayaan tersebut muncul? Faktor paling dominan adalah adanya dogmatisme agama yang kemudian melahirkan klaim kebenaran satu-satunya,” kata Gomar dalam siaran persnya yang diterima NewsNow.id, di Jakarta, hari ini.
Menurutnya, jika dogmatisme dan klaim kebenaran satu-satunya dibiarkan, sungguh bahaya. “Orang sering menganggap dirinya paling benar dan mengetahui segala hal, sehingga orang lain yang berbeda dengannya dianggap sudah pasti salah dan menyimpang. Dan orang lain itu juga sudah pantas disingkirkan, bahkan dengan cara yang paling kejam. Inilah yang menjadikan keseharian kita begitu banal (suci) dan ingin meraup sebanyak mungkin untuk diri sendiri atau kelompok, maupun agamanya sendiri,” ujarnya.
Gomar mengatakan, hal tersebut yang menjadikan kita semakin jauh dari persaudaraan, perdamaian dan kemanusiaan. “Kita kini bak sedang menghidupi peradaban yang mengarus-utamakan jumlah penganut, peradaban yang mengedepankan harta, kekuatan dan tahta, peradaban yang memenangkan yang bersuara keras. Sebuah peradaban yang makin menjauhkan kita dari persaudaraan dan kemanusiaan, dan malah melahirkan kebencian dan balas dendam,” urainya.
Baginya, inilah buah keserakahan itu. Bahkan oleh keserakahan itu kita pun merelakan agama dijadikan kendaraan untuk tujuan kepentingan ekonomi maupun politik. “Politik identitas yang sejatinya untuk memperjuangkan keadilan dan nasib mereka yang terpinggirkan, malah dibelokkan untuk meminggirkan mereka yang tidak sehaluan,” jelas Gomar.
Lanjutnya, di sinilah pentingnya peran para pimpinan umat untuk mencerdaskan umat dalam beragama agar tidak terjebak pada simbol-simbol agama semata, tetapi menukik pada intisari agama, yakni cinta, persaudaraan dan kemanusiaan.
Beragama secara dogmatis sedemikian akan memisahkan kita satu sama lain, sebaliknya, beragama secara substansial justru makin mengeratkan kita satu sama lain, oleh ikatan cinta dan kemanusiaan.
“Selama keserakahan menggurita dalam kehidupan beragama kita, sulit kita menggapai perdamaian, kemanusiaan dan cinta kasih sejati,” tukasnya.
Dalam perspektif Kristen, sambung Gomar, dirinya mengajak kita semua menghidupi ajakan Kristus dalam Doa Bapa Kami: “Berikanlah kami makanan kami yang secukupnya”, serta ajakan untuk selalu berbagi dan untuk selalu berlaku adil.
“Perdamaian bukanlah sekadar ketiadaan perang. Tetapi perdamaian sejati hanya akan mewujud jika keadilan ditegakkan, dan semua orang mampu untuk berkata: ‘Cukup’, serta selalu berjuang untuk keadilan. (RN)