NewsNow.id, Jakarta – Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, memiliki banyak kejanggalan.
Selain tidak ada alasan konkret untuk apa sebenarnya PP itu dikeluarkan, setelah 20 tahun izin penambangan dan ekspor pasir laut dibekukan, bahasa sedimentasi yang digunakan kuat dugaan hanya untuk mengelabui masyarakat. Karena diduga tujuan utamanya adalah mengeruk pasir laut untuk kebutuhan ekspor.
Kejanggalan lain yang muncul, ternyata dua tahun sebelum PP 26/2023 itu keluar, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono telah merilis Keputusan Menteri KP (Kepmen KP) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut Dalam Perhitungan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang diteken pada 18 September 2021.
Kok bisa, Kepmen keluar sebelum terbitnya PP? Apakah itu artinya, penambangan dan ekspor pasir laut sudah berlangsung sebelum PP ini keluar? Kuat dugaan, PP 26/2023 ini merupakan sinyal ekspor pasir laut bakal dibuka secara besar-besaran oleh oligarki.
Ketika coba dikonfirmasi, Menteri Sakti Wahyu Trenggono sepertinya enggan berkomentar. “Soal Kepmen 82/2021 saya no comment ya,” ujarnya di Gedung Mina Bahari, Jakarta, dilansir dari BatamNow.com, Rabu (14/06/2023).
Saat didesak, apakah benar ekspor pasir laut sudah berlangsung sebelum PP 26/2023 keluar, Menteri KP juga tidak berkomentar. “Saat ini, kami tengah menyusun Permen sebagai turunan dari PP 26/2023 ini,” ujarnya singkat.
Dia hanya memastikan bahwa penambangan sedimentasi laut hanya diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri. Sementara bila mau diekspor, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. “Kalaupun mau diekspor, kebutuhan dalam negeri harus terpenuhi dulu,” tukasnya sembari berlalu.
Seperti diketahui, dalam Kepmen KP 82/2021, ada ketentuan soal harga patokan pasir laut dalam perhitungan tarif atas jenis PNBP. Di mana harga untuk dalam negeri dipatok Rp 188.000 per meter kubik. Sedang untuk ekspor harganya Rp 228.000 per meter kubik.
Dibuatnya patokan harga tersebut dimaksudkan sebagai acuan dalam pembayaran PNBP berupa perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut untuk kegiatan pemanfaatan pasir laut. Meski begitu, harga-harga tersebut bisa berubah berdasarkan evaluasi paling lambat 12 bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila pertimbangan tertentu.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Drs Victor Gustaf Manoppo pun enggan menjelaskan mengapa Kepmen KP 82/2021 itu keluar lebih awal dari PP 26/2023. “Kepmen itu mungkin sebagai bentuk antisipasi saja,” ujarnya tanpa menjelaskan detail.
Hingga kini, riuh redam penambangan dan ekspor pasir laut masih terjadi. Sejumlah LSM menuding, ada permainan oligarki dengan para pengusaha pasir laut, bahkan mafia. Lebih santer lagi beredar isu, sudah ada uang down payment (DP) dalam jumlah besar yang diberikan oleh pihak tertentu untuk membeli pasir laut asal Indonesia untuk mereklamasi pantai sehingga wilayah negaranya semakin luas. (RN)