NewsNow.id – Asisten Ombudsman, Bellinda W. Dewanty, mengatakan pihaknya menduga adanya potensi maladministrasi dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Penyebabnya, kata dia, karena adanya celah yang ke depannya perlu dilakukan pengawasan.
“Kita melihat bahwa ada pengabaian kewajiban hukum, kemudian potensi maladministrasi berupa tidak patut, diskriminatif, dan konflik kepentingan. Karena kami melihat ada beberapa potensi maladministrasi yang perlu kita awasi,” ujar dia dalam diskusi virtual pada Selasa (28/2/2023).
Pertama, potensi maladministrasi kaitannya dengan penerapan “kuota layanan” di fasilitas kesehatan. Ombudsman meyakini dari pihak Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, tidak menerapkan permbatasan kuota kepada para pasien.
Bellinda melihat bahwa ada penerapan “kuota layanan” yang di luar dari ketentuan. “Kenapa bisa di luar ketentuan? Karena kita lihat adanya suatu praktek-praktek yang tidak sesuai dengan standarisasi,” kata dia. “Di sini tentu Ombudsman melihat bahwa undang-undang yang digunakan adalah undang-undang pelayanan publik.”
Ombudsman menilai adanya “kuota layanan” itu disebabkan karena tidak adanya standarisasi ataupun regulasi yang mengatur bagaimana sebetulnya seharusnya rumah sakit melayani pasien BPJS Kesehatan setiap harinya. Bellinda mempertanyakan bagaimana mekanisme berapa banyak “kuota layanan” yang dilayani untuk rumah sakit tipe A, B, C, dan D untuk pasien BPJS Kesehatan, asuransi, dan mandiri.
“Itu terjadi karena apa? Nah ini lah karena tidak ada standardisasi,” ucap dia. Itu terjadi khususnya pada faskes khusus seperti mata, jantung, dan lainnya.
Selain itu, kata Bellinda, Ombudsman menilai bahwa faktor-faktor potensi maladministrasi ini berangkat dari adanya pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh badan pengawas rumah sakit (BPRS). Menurut dia, BPRS semestinya melakukan audit audit secara internal secara masif untuk memastikan penyelenggaraan pelayanan publik berjalan dengan maksimal.
Masalah lainnya, dia berujar, tidak semua provonsi memiliki BPRS. Sehingga fungsi pengawasan, pemeriksaan, dan evaluasi harus dimaksimalkan oleh dinas kesehatan yang ada di kabupaten dan kota tersebut. “Termasuk juga dari suku dinas yang ada di kabupaten dan kota,” tutur Bellinda.
Kedua, potensi maladministrasi yang kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan publik fasilitas kesehatan adalah soal keterbukaan informasi publik. Akses informasi yang tidak terdistribusi di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat rujukan lanjutan (FKTRL), sehingga seringkali masyarakat menerima informasi secara tidak utuh.
Informasi tersebut di antaranya mengenai bagaimana merujuk suatu rumah sakit, mengakses informasi, hingga mengetahui dokter mana yang memberikan pelayanan secara spesialisasi. “Bagaimana mmengakses informasi secara terbuka dan transparan dengan tiadanya keterbukaan informasi publik,” ucap dia.
Potensi maladministrasi ketiga adalah bagaimana peran Kementerian Kesehatan sejak awal mengenai persyaratan izin operasional rumah sakit. Bellinda mempertanyakan sebenarnya klasifikasi perizinan rumah sakit itu hanya berfungsi sebagai penerapan paripurna layanan untuk akreditasi saha atau membuat setiap rumah sakit mengetahui berapa kemampuan masing-masing dalam memberikan pelayanan.
Ombudman meminta agar Kementerian Kesehatan maupun dinas kesehatan bisa melakukan self assessment secara menyeluruh. Karena ini berkaitan dengan proporsionalitas. “Bagaimana keseimbangan antara jumlah dokter, kemampuan dokter, nakes, serta fasilitas kesehatan yang dimiliki setiap faskes bisa teruji bisa terukur,” tutur dia.
Potensi maladmisnistrasi keempat adalah Kementerian Kesehatan atau dinas kesehatan, termasuk BPRS tidak memaksimalkan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Bellinda mengatakan, sejatinya setiap rumah sakit harus melakukan pengawasan internal secara maksimal.
Jika tidak, maka paripurna pelayanan yang ada di rumah sakit ataupun di fasilitas kesehatan lainnya tidak benar-benar terwujud. “Tentu tidak hanya sekedar paripurna pelayanan ataupun akreditasi saja, tapi mencerminkan bagaimana situasi pelayanan publik yang ada di dalam masing-masing faskes,” kata dia. (*)